26. Hidden truth.

7.8K 768 49
                                    

Assalamu'alaikuum 😊 Alhamdulillah komen kemaren sampe belasan. :D sekarang, lagi yaaaa ;) kalo yang komen lebih dari 10 Asia update hari ini juga :* gak maksa sih, ini cuma jadi seneng-senengan Asia doang heuheu... :" kalo komennya gak sampe segitu gpp Asia bakal tetep lanjut update kok ;)

Dan oh ya, kemarin Asia lupa ngucapin 😆
HAPPY EID MUBARAK semuaaaa 😘 maafin Asia atas segala kesalahan Asia selama ini yang mungkin ada menyinggung kalian 🙏🙏🙏
Happy reading!

***

"Assalamu'alaikum, Hana, Justin."

"Wa'alaikumussalam."

"Wa'alaikumussalam, Ali. Bagaimana kabarmu?"

Ali Rahman tersenyum pada pasangan suami istri di hadapannya saat ini. "Seperti yang kau lihat, Justin, aku baik-baik saja. Dan maafkan aku telah membuat kalian menunggu. Bagaimana kabarmu juga?" Ali menjawabnya dengan nada kasual.

"I'm fine," jawab Justin.

Sore ini, Justin memutuskan untuk bertemu dengan Ali untuk menyelesaikan semuanya, tentu saja bersama Hana. Dia ingin memberitahu apa yang sebenarnya terjadi yang Hana tidak ketahui. Dan Justin memilih untuk mengunjungi kediaman Ali Rahman secara langsung.

"Dan Hana? Apa kau sudah baikan? Ayahku bilang kau pingsan malam itu dan aku sangat khawatir padamu."

Biasanya, Justin pasti akan kesal kalau ada lelaki lain yang menaruh perhatian pada istrinya, tapi kali ini, dia memilih untuk diam.

"Aku sudah lebih baik, terimakasih telah bertanya."

Ali terkekeh. "Kau tidak banyak berubah, Hana, selalu seformal ini. Yet, that's what makes you, you."

Hana tersenyum di balik cadarnya, sedangkan Justin masih tidak mengatakan apa-apa. Lalu kemudian dia berdehem sehingga Ali kembali menjatuhkan atensinya pada Justin.

"Seperti yang kuberitahu sebelumnya di telepon, Ali, bahwa Hana sudah mengingat semuanya."

Raut di wajah Ali berubah sendu. Dia menunduk menatap gelas berisi air mineral di depannya. "Maafkan aku," bisiknya lirih.

Hana sedikit terkesiap. Dia mendongak menatap Justin, meminta penjelasan. Dan Justin yang merasakan tatapannya hanya menoleh untuk melempar senyum tipis.

"Kau tidak salah, Ali. Ini bukan pertama kalinya kau meminta maaf padaku, dan berhentilah melakukannya," kata Justin.

Ali tersenyum tipis. "Apa kau ingat ketika kita sampai di bandara waktu itu, Hana?"

Ingatan Hana kembali terlempar ke sana. Di saat mereka kembali dari Palestina di bandara dan menaiki sebuah mobil yang dikemudikan oleh Ali. Hana ingat ketika dirinya merasa ngantuk dan memilih untuk tidur, lalu dibangunkan oleh suara yang memekikkan telinga dan terakhir dengan kecelakaan itu.

Hana mendongak lagi pada Justin, dan suaminya itu ternyata tengah menundukkan kepala, tapi sebelah tangannya meraih tangan Hana lalu menggenggamnya erat. Hana mendengar Ali mengucapkan bismillah seolah apa yang tengah ingin ia ucapkan adalah hal yang berat.

"Saat itu kau tertidur. Tepatnya ketika memasuki jalan Streetyard, kau jatuh tertidur. Aku menelepon Justin untuk mengabarkan dirimu padanya. Aku berniat untuk mengantarmu pulang ketika itu. Dan Justin mulai berbicara aneh. Aku tidak lagi fokus pada jalanan di depanku dan yang kutahu selanjutnya, sambungan telepon mati, lalu sebuah mobil melaju cepat menyalipku dan menabrak sebuah truk yang sempat kulihat tengah oleng di depan sana." Ali terkekeh sumbang, menyeka air matanya yang tiba-tiba saja mengalir keluar. "Maafkan aku."

Hana yang tidak mengetahui akan hal itu tentu saja merasa terkejut. Seluruh alarm di kepalanya menunggu penuh antisipasi.

"Ya Allah," bisik Ali, kemudian melanjutkan, "kalau bukan karena Justin yang dengan sengaja menabrak truk itu terlebih dahulu untuk sedikit menahannya dengan mobilnya yang seolah didesain untuk itu," Ali tertawa lagi tanpa humor, "aku tidak mau memikirkan kemungkinan terburuknya. Dan dari pihak yang menyelidiki kecelakaan itu, juga dari CCTV yang aku lihat, aku mendapatkan kebenaran. Kecelakaan itu terjadi karena sopir truk yang mabuk dan melawan arus, juga rem yang ternyata blong." Ali berhenti untuk melirik Justin sesaat.

"Apa yang terjadi pada Justin?" tanya Hana tiba-tiba. Tatapannya tampak kosong ketika dia menatap ke depan, matanya berkaca-kaca.

Ya, apa yang terjadi pada suaminya setelah itu? Fakta bahwa Justin juga terlibat dalam kecelakaan itu baru Hana ketahui. Dan rasa merinding di sekujur tubuhnya akibat rasa cemas membuat Hana hilang dalam pikirannya yang tengah menerka-nerka.

Hana merasakan genggaman di tangannya kian erat. Perlahan, kepalanya pun menoleh ke samping, hanya untuk mendapati suaminya tengah tersenyum dengan tulus.

"Aku baik-baik saja," kata Justin.

Hana menggeleng. Air mata yang menggelung di pelupuk matanya telah meluncur jatuh.

"Tell her, Justin," desak Ali yang membuat senyum di wajah Justin sedikit surut. Tapi dia mengembangkannya kian lebar.

"I'll tell you at home, okay?"

Hana menggeleng lagi. Sepenuhnya menghadap Justin saat ini.

"Tell me now," pinta Hana dengan wajah berlinang air mata dan raut cemas yang tegang.

"Justin mungkin benar, Hana, sebaiknya kalian berbicara di rumah. Aku tidak bermaksud apa-apa, hanya saja, itu akan membuat kalian lebih leluasa untuk mengucapkan segalanya."

Justin mengangguk, lalu membawa Hana ke dalam pelukannya, namun Hana hanya terdiam tanpa mengeluarkan suara tangisan sedikitpun.

"Justin, terima kasih atas semua yang telah kau lakukan. Bukan hanya pada Hana, tapi kau juga menginspirasiku pada banyak hal, sampai saat ini."

Justin tersenyum. "It's nothing, Ali. Kalau bukan karena kehendak Allah, yang kau katakan itu tidak mungkin terjadi."

Ali mengangguk. Memaksa senyum. "Jadi... kau akan memberitahukannya pada Hana, kan?"

Justin mengangguk tipis, tiba-tiba saja merasa takut.

Lalu Justin pun pamit bersama Hana yang masih tidak mau membuka suara, mereka meninggalkan Ali Rahman yang menatap kepergian mereka di teras rumah. Raut di wajahnya menampakkan kesedihan, tapi bibirnya menampilkan senyuman. "Aku berdoa semoga kalian selalu dalam lindungan Allah SWT. Aku merasa bersalah, tapi juga sangat berterima kasih. Dalam segala sesuatu memang ada hikmahnya." Ali menatap kedua lututnya. "Segera akan kusingkirkan kursi roda ini," bisiknya kemudian, teringat pada pengobatan atau kemoterapi yang akan dia lakukan untuk menghidupkan kembali syaraf-syaraf di kedua kakinya. Dan Ali tidak sabar untuk itu. Dia juga tidak sabar untuk menunggu akhir bahagia dari kisah ini.

***

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
ETERNAL FAITH ✔Where stories live. Discover now