22. The rain.

7.3K 696 44
                                    

Hana tengah berkaca di toilet perempuan yang kebetulan sedang sepi. Dia menatap pantulan dirinya yang dibalut niqab hitam dan sebuah hiasan perak berbentuk bunga dan dedaunan perak di atas kepalanya. Hana menghembuskan napas panjang. Tangannya dingin sekali dan dia benar-benar gugup.

Di luar, Justin masih setia menunggunya sembari bersandar pada tembok. Ketika Hana keluar dengan kepala tertunduk, Justin langsung mendekati perempuan itu dan mengangkat dagunya agar Hana mendongak menatapnya. Dan agar Justin sendiri bisa menelisik mata biru kelam itu lebih dalam.

"What's wrong, sweetheart?"

Hana menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Tidak bisakah aku pulang saja? Kau bisa tetap di sini, tapi aku tidak kuat, aku mau pulang."

Justin menghela napas. Dia menjadi menyesal mengajak Hana ke pesta ini. Bagaimanapun, Hana ada di antara orang-orang yang memandang rendah dirinya, kepercayaannya. Sedari tadi, tidak sedikit orang yang memandang Hana dengan tatapan aneh dan ketidaksukaan yang sangat jelas. Bahkan ketika Justin dan Hana mendekati mereka, yang dihormati tentu hanya Justin seorang, itupun karena kekuasaan dan uangnya, sedangkan Hana hanya dipandang sebelah mata bahkan juga disinggung terang-terangan.

Justin pun membawa Hana ke dalam pelukannya. "Maafkan aku, Hana," bisiknya.

Hana menggeleng. "Tidak apa-apa. Aku mengerti," katanya.

Namun Justin sama sekali tidak merasa lebih baik. Dia pun membawa Hana keluar dari hotel berbintang lima itu menuju parkiran basement. Justin terus saja memperhatikan gerak-gerik Hana, termasuk kerutan di dahi perempuan itu dan bisikan istigfarnya yang terdengar lemah.

"Kau baik-baik saja, kan, Sweetheart?" tanya Justin lagi, meremas tangan Hana dengan lembut.

Hana mengangguk. "Aku tidak apa-apa."

Tapi Justin tahu bahwa Hana tidak sedang baik-baik saja, membuatnya ingin segera sampai di rumah saat itu juga, dan memanggilkan dokter kepercayaannya untuk memeriksa keadaan sang istri.

Ketika mereka hampir sampai ke tempat mobil mereka berada, terdengar suara ketukan sepatu dan ringisan seseorang. Sontak Justin dan Hana berhenti. Mereka saling pandang, menajamkan indera pendengaran pada suara seseoang yang tengah melangkah bersama suara lenguhannya itu semakin jelas terdengar.

Parkiran sedang dalam keadaan sepi. Mereka mengedarkan pandang dan saat itulah Justin menangkap figur seorang perempuan yang berjalan sempoyongan ke arah mereka.

"Justin." Hana berbisik dengan keterkejutannya.

Perempuan itu berjalan semakin dekat, dan ketika jarak mereka tidak lebih dari lima meter, tiba-tiba saja perempuan itu ambruk.

Justin langsung menghampirinya dan sangat terkejut ketika dia melihat wajah perempuan itu, Hana pun tidak kalah demikian.

"Angeline," bisik mereka bersamaan.

Berbagai pemikiran berkecamuk di kepala mereka. Justin yakin Angeline tidak sedang mabuk karena dia tidak mencium aroma alkohol sedikitpun di udara.

"Justin!" pekik Hana tiba-tiba, menunjuk genangan darah di bawah tubuh Angeline.

Justin pun segera mengangkat Angeline ke dalam gendongannya. Dia menatap Hana dengan raut cemas yang jelas. "Tunggu di sini, oke?"

Hana menganggukkan kepala patuh dengan kekhawatiran yang sama. Dia pun menatap kepergian Justin yang masuk ke dalam lift, bersama Angeline di gendongannya.

Hana tidak sempat berpikir jernih, kepalanya yang sedari tadi sakit semakin terasa sakit bertalu-talu. Dia menatap ke bawah, ke noda darah yang sudah terserap oleh lantai bersemen, Hana tiba-tiba saja merasa ngeri. Membuatnya bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada Angeline.

ETERNAL FAITH ✔Where stories live. Discover now