12. I'll never leave.

7.5K 689 10
                                    

Hana dan Justin turun dari mobil yang dikemudi oleh supir. Di hadapannya, pintu kayu berwarna cokelat yang divernis halus. Hana menatapnya sesaat, lalu mendongak ke atas melihat bentuk rumah berlantai tiga itu.

Dia merasa familier. Seolah seperti déjà vu, Hana merasa pernah melalui ini sebelumnya. Dia pernah berdiri dalam keadaan seperti ini dan menatap ke atas lalu memikirkan betapa indahnya rumah ini.

Tapi... Hana yakin bahwa ini adalah kali pertama dia ke sini. Justin pun tidak mengatakan apapun. Pria itu merangkul pinggang Hana dan membawanya masuk ke dalam.

Di dalam, perasaan famillier itu semakin kuat. Interior rumah ini benar-benar megah sekaligus elegan, masih tersisa gaya klasik di dalamnya yang dipadukan dengan gaya modern. Tangganya juga sangat indah, melingkar ke atas seolah-olah seorang putri atau bidadari akan turun dari sana.

Sedangkan Justin, dia memperhatikan Hana yang tengah larut dalam pikirannya yang mencoba untuk mengingat kembali. Justin tampak was-was dan menjadi tegang. Dia siap pada konsekuensinya nanti. Ketika Hana mengingat semuanya, apa dia juga akan pergi seperti dulu?

Alasan mengapa Justin sungguh ketakutan saat ini. Sekaligus gugup, karena hari ini dia harus mengatakan semuanya pada Hana. Justin tidak ingin membuat Hana meraba di kegelapan lagi, tanpa titik terang tentang siapa dirinya yang sebenarnya.

"Apa aku pernah ke sini sebelumnya, Justin?" tanya Hana tiba-tiba.

Justin tersenyum ketika ia menunduk menatap mata Hana. Justin tidak ingin berbohong, jadi ia menganggukkan kepala.

Hana terkesiap. Dia memegang kepalanya dan meringis pelan. Justin segera merangkul bahunya dan menghelanya untuk duduk di sofa ruang tamu.

"You okay?"

Hana mengangguk. "Hanya sedikit pusing," jawabnya. "Apa ini karena efek kehamilanku?"

Justin mengedik bahu, kerutan di dahinya masih tercetak jelas, dan dia menatap Hana cemas.

Yang dicemaskan malah terkekeh geli, lalu menghilangkan kerutan dalam di dahi Justin dengan usapan pelan jempolnya. "Aku baik-baik saja," kata Hana sambil tersenyum, "hanya saja, setiap kali aku mencoba untuk mengingat sesuatu, maka kepalaku akan merasa pusing seperti tadi."

"Jangan dipaksa," kata Justin cepat.

Tatapan Hana berubah sendu. "Aku ingin mengingat semuanya, Justin. Aku rindu Ayah, Mama, Albert, Ellina, dan Vionna. Aku ingin tahu kehidupanku seperti apa dulu, aku ingin tahu semuanya."

Justin tahu, sekalipun Hana tidak mengatakannya secara gamblang seperti itu, dia tahu, hanya saja terlalu takut untuk bertindak. Justin tidak ingin Hana meninggalkannya lagi.

Justin masih melamun, ketika Hana memainkan tangannya yang masih diselimuti tinta hitam berupa tatto, dan di jari manisnya terdapat cincin pernikahan mereka, sedangkan di jari manis Hana tidak ada.

Hana tersenyum, mengusap lengannya.

"Aku tidak lagi suka melihat gambar-gambar ini," bisik Justin, menatap jemari Hana yang menyusuri tatto di sepanjang lengannya sampai siku.

Hana mendongak. "Tidak apa. Lebih baik seperti ini daripada harus menyakiti diri sendiri dengan menghilangkannya semua, itu pasti akan sangat sakit. Lagipula, kau melakukan ini semua dulu, kan. sekarang bukanlah apa-apa. Ketika kau mengucapkan dua kalimat syahadat untuk pertama kali, itu seperti kau terlahir kembali, seperti bayi, suci dari segala dosa."

Justin tersenyum. Dia mengecup pelipis Hana, merasa begitu bersyukur memiliki istri sepertinya. Seorang jelmaan bidadari dunia yang tampak begitu nyata.

ETERNAL FAITH ✔Where stories live. Discover now