SEMBILAN

869 78 32
                                    

Senin kali ini adalah Senin yang sangat berbeda dengan Senin yang telah dilewati Elgra selama berminggu-minggu sebelumnya di SMA Galaksi. Dan entah kenapa dia jadi benci hari Senin. Seperti yang didapatinya pagi ini dan mungkin akan berlanjut sampai sore nanti.

Kenyataan bahwa dia tak menemukan Athaya di mejanya membuatnya lebih sakit daripada dua hari weekend kemarin. Setelah mengantar Athaya pulang kemarin, dia harus berbohong kepada Tante Hera kalau anak gadisnya sedang tertidur. Elgra sendiri yang memindahkannya dari mobil ke kamar Athaya. Sejenak Elgra menatap wajah Cewek Kesayangan-nya itu. Riasannya terlihat berantakan, terhapus oleh air mata yang mengering di pipi.

Elgra jadi berpikir kalau tindakannya itu salah. Apa dia terlalu keras terhadap Athaya dengan mengatasnamakan perasaannya? Apa dia mengatakan sesuatu yang salah? Apa waktunya tidak tepat? Tapi ini semua dia lakukan demi kebaikan Athaya. Jadi, coba katakan apa yang salah?

"Hei, Bro!" Agit menepuk pundak Elgra sewaktu istirahat. Mereka sedang menghabiskan waktu istirahatnya dengan bermain futsal di ruang indoor. "Tumben mainnya kurang semangat. Kenapa lo?" katanya seraya duduk di sisi kanan Elgra. "Gimana? Udah nembak Athaya?"

Elgra mendesah. Lalu, dia meneguk air mineral dingin dari botol minumnya. "Athaya nolak gue, Git." Dia menoleh ke arah Agit. "Dia bilang kalau dia enggak mau ngerusak persahabatan kami karena cinta. Dan gue udah ngerasa buntu buat cari cara ngasih tahu dia."

Agit berdecak. "Emang ya, cinta itu rumit. Kayak Matematika. Lo harus nemuin jawaban dari cara yang tepat." Dia mendengkus. "Terus Athaya-nya ke mana? Kayaknya gue enggak lihat dia dari tadi deh. Kan biasanya kalian selalu berdua, Gra."

"Athaya enggak masuk."

"Wah, parah lo, Gra. Athaya sampai enggak masuk gitu pasti gara-gara lo." Agit berdecak berkali-kali. Dia merasa gemas sendiri. "Lo gimana, sih? Katanya lo suka sama dia, lo sayang sama dia. Tapi ditolak sama Athaya, lo-nya malah mundur. Lo maunya apa, sih?"

Elgra hanya bisa diam. Pikirannya sendiri masih seperti benang kusut. Belum bisa dia tata rapi kembali untuk berpikir jernih setelah kejadian malam itu.

"Lo harusnya tahu kelemahannya Athaya. Lo lebih tahulah gimana dia. Jangan tinggalin dia, Gra. Itu sama aja dengan lo nyakitin dia."

***

"Iya, Bunda. Athaya udah beli obatnya, kok. Ini baru sampai rumah ... Iya, nanti aku makan ... Enggak. Enggak usah beliin. Aku makan yang Bunda masakin aja ... Enggak apa-apa kok, Bun. Cuma flu doang. Aku cuma perlu istirahat sebentar ... Oke, Bun. Take care, ya! See you."

Athaya turun dari sepedanya setelah menaruh ponselnya di saku celananya. Dia baru saja pulang dari apotek. Seharian ini dia hanya mengurung diri di kamar karena sakit di kepalanya kali ini menurutnya sangat keterlaluan. Kepalanya terasa berat hingga dia tidak bisa melakukan apa pun.

Sudah dua malam ini dia menangis. Menangis karena sepertinya dia melakukan hal yang bodoh dengan mengambil keputusan yang salah. Keputusan yang membuat jarak antara dia dan Elgra semakin renggang. Dan mungkin tidak dapat tertolong lagi.

Melihat Elgra yang tidak pernah lagi menyapa dirinya, mengunjungi rumahnya, mengganggu malam-malamnya membuatnya sedih. Bukan hanya tentang kesedihan yang dia alami, tapi juga tentang ketakutan. Dia takut kehilangan lagi. Kehilangan separuh jiwanya.

Ya, memang Athaya harus mengakui bahwa Elgra sudah menjadi bagian dari jiwanya. Cowok itu yang selalu menemaninya dari kecil. Dan sekarang dia harus mengalami kehilangan dirinya? Argh....

Dengan mata sembap, dia mengunci stang sepedanya. Lalu, merapatkan jaket kuning yang membungkus tubuhnya. Sesekali dia bersin dan mengucek hidungnya sampai mengeluarkan air mata. Kemudian dia berjalan masuk ke dalam rumah tanpa melihat sekitarnya lagi.

Dari pekarangan rumah A6, Elgra melihat semuanya. Dia baru saja memasukkan dan memarkirkan motornya. Dia baru mengetahui bahwa Athaya sedang sakit dan sekarang sendirian di rumahnya. Apa dia udah makan? Apa dia enggak apa-apa kalau sendiri? Kalau dia kenapa-kenapa, gimana? Hati Elgra ribut dengan berbagai pertanyaan. Apa gue lihat aja, ya? Tapi.... Elgra menghentikan niatnya. Perasaannya masih terasa sakit mengingat apa yang dikatakan Athaya malam itu.

Dia berbalik badan.... Ah, sial! Dia berlari menuju kamar dan melompati jendela kamarnya. Lalu, dia berjalan di atas rerumputan ke arah jendela kamar Athaya. Jendela itu terbuka lebar. Sehingga dengan leluasanya, dia dapat mengintip ke dalam.

Athaya membuka pintu kamar. Tubuhnya merosot di tepi sisi tempat tidur. Dia kembali terisak. "Elgra...," teriaknya. Dia meraih Red di atas tempat tidur. Lalu, diremasnya boneka itu. "Lo kenapa, sih? Kenapa lo tega bikin gue nangisin lo terus? Kenapa lo malah ninggalin gue? Kenapa lo balik lagi, El, setelah gue berhasil sedikit ngelupain lo?" Dia terus memukul-mukul Red sambil menangis.

Elgra hanya bisa terdiam melihat dan mendengar itu semua.

"Elgra, gue benci, benci, benci sama lo!" Athaya melempar Red ke lemari hingga boneka itu jatuh tertelungkup. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan menangis.

Elgra sungguh tidak tega sebenarnya. Dia juga ingin tetap menjaga dan melindungi Athaya walau keadaannya sudah berbeda. Tapi....

Ah, pengecut lo, El! Lo enggak berani tanggung jawab! Perasaan cewek yang lo sayang, lo rusak?! Perbaiki ini sebelum semuanya terlambat, El. Kalau enggak, lo sama aja kayak Rayyan yang suka mainin perasaan cewek. Emangnya lo mau? Suara hatinya terdengar jelas di telinga Elgra.

Benar. Elgra merasa harus perbaiki semuanya sekarang.

Athaya mengangkat pandangannya. Dilihatnya pantulan dirinya di cermin. Kacau. Semuanya kacau.

Diusapnya air matanya yang membasahi kedua pipinya dengan rasa kesal. "Udah, Tha, udah! Lo harus kuat! Anggap aja Elgra itu enggak ada. Ngapain sih lo nangisin cowok yang selalu ninggalin lo? Enggak ada gunanya, Tha! Masih banyak hal yang bisa lo lakuin daripada mikirin dia. Lo harus buat Bunda bahagia. Jangan pernah bikin Bunda sedih! Move on, Tha, move on!"

Mendengar itu semua, Elgra merasa kalah telak. Tidak ada yang bisa diperbaiki lagi. Ini semua adalah kesalahannya. Sekarang Athaya sudah memilih jalannya sendiri. Dan sebaiknya dia tidak merusaknya lagi. [] 

Athaya & Elgra [TERBIT GRASINDO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang