SEBELAS (b)

814 66 33
                                    

"Lo kenapa murung gitu?" tanya Rayyan seraya meletakkan es krim di meja. Saat ini mereka tengah duduk di kedai es krim.

Athaya langsung menarik tangan Rayyan dari kelasnya. Bahkan dia tak malu untuk masuk langsung ke kelas Rayyan saat guru baru saja keluar.

Setelah kejadian pada jam istirahat tadi, itu bukanlah keinginannya. Dia tidak ingin menyakiti Elgra. Tapi itu adalah satu-satunya cara untuk menjauh dari Elgra. Pun Elgra menjauhinya. Dan sisa jam sekolah, dihabiskannya untuk menangis di ruang mading.

"Jadian, yuk!" ucap Athaya tiba-tiba membuat kening Rayyan berkerut. Athaya tahu kalau dia mengucapkan dengan kesadaran penuh.

Rayyan mendekatkan wajahnya karena Athaya mengatakan itu seperti bergumam. "Apa lo bilang? Jadian? Kita?"

Athaya mengangguk.

Rayyan tertawa sinis. "Lo mau kita jadian atas dasar apa? Terpaksa? Please, Athaya, kalau lo jadian sama gue, gue kali ini enggak bakal ngelepas lo!"

Athaya menatap Rayyan. "Kalau gue bilang gue suka sama lo, gimana?"

Rayyan tampak terkejut. Dia benar-benar tidak percaya. "Enggak. Enggak mungkin, Athaya. Lo mau diejek anak-anak tiap hari kayak gue dan temen-temen lo ngejauh karena gue?"

Athaya hanya terdiam.

"Jangan, Thaya. Entar lo nyesel."

Athaya bersandar di pundak Rayyan dan meraih jemarinya. Tindakan ini benar-benar di luar bayangan Rayyan. Rayyan ingin menepis tangan Athaya, tapi cewek itu menahannya.

"Rayyan. Tolong. Jangan tinggalin gue." Athaya mengatakannya sambil terisak. Dipikirannya saat ini adalah cara ini yang tepat untuk melupakan Elgra.

***

Perlahan dia mencoba untuk membuka matanya. Semua terlihat samar.

"Elgra? Kamu udah siuman, Nak?" suara Om Ervan menyambutnya. Kurang lebih sudah satu jam lamanya beliau menunggu Elgra di rumah sakit.

Mendengar kabar mengenai Elgra, perasaan khawatir, cemas, dan ketakutan bercampur menjadi satu. Dia tak ingin kehilangan satu-satunya harta akan kenangan dengan mendiang istrinya.

"Papa?" Elgra berusaha untuk melihat lebih jelas lagi. Dia melihat sekelilingnya. Rumah sakit. Tempat yang dia benci. Tempat terakhir dia melepaskan mamanya.

"Iya, ini Papa." Om Ervan mengelus kening anaknya. "Sebentar. Papa panggilkan dokter dulu."

Lalu, tatapan Elgra bertemu dengan tiga orang temannya; Moreno, Agit, dan Nayla.

Kepalanya masih terasa berdenyut. Dia meringis. "Athaya mana?"

"Lo masih aja nanyain Athaya, Gra? Bingung gue sama lo, Gra. Lo udah diginiin sama dia, lo masih aja nanyain dia." Moreno memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Di luar sekolah, jabatan ketua kelas tak berlaku lagi baginya.

"Tadi gue lihat sih, Athaya lari sambil narik tangannya Rayyan. Tahu deh ke mana," timpal Agit. "Tadi telepon gue juga enggak diangkat sama dia pas mau ngabarin tentang lo."

Nayla berdecak. Dia mendekati Elgra. Dia duduk di tepi brankar dekat kaki Elgra. "Lo tenang, ya. Lo harus pulih dulu."

"Gila lo, Gra. Tadi gue panik sendirian pas tahu lo pingsan. Untung gue balik ke kelas. Kalau enggak kan, enggak ada yang bakal tahu lo pingsan di kelas."

Elgra teringat tadi ketika jam pelajaran berakhir dan kelas pun berangsur sepi, dia merasakan sakit yang tak tertahankan bagian kepalanya yang terantuk meja tadi. Dia pun merasakan ada yang mengalir di belakang telinga kirinya. Dan semua gelap begitu saja ketika dia berusaha bangkit dari duduknya.

Elgra tersenyum tipis. "Thanks, No."

Mungkin sudah saatnya dia melepaskan Athaya.

"Papa belum tahu penyebab kamu kayak gini, Elgra." Om Ervan angkat bicara setelah diam selama dalam perjalanan pulang. Elgra memaksa untuk tetap pulang meski ayahnya sudah memintanya beristirahat dulu di rumah sakit.

Elgra terdiam sesaat menatap ayahnya. Dia menghela napasnya. Kemudian membuka pintu mobil. Dia enggan berkomentar banyak tentang ini. Hanya akan memperpanjang masalah saja nantinya, pikirnya.

Om Ervan pun ikut keluar dan jalan memutar, membantu anaknya. "Temanmu belum cerita apa pun tentangmu mengenai hal ini. Papa tadi cuma diberitahu kalau kamu pingsan di kelas dan kepalamu berdarah."

Pandangan Elgra menangkap pemandangan yang paling menyakitkan hatinya sekarang. Cewek Kesayangan-nya telah tersenyum bersama Rayyan. Ya, mungkin begini lebih baik seperti ini.

"Elgra," panggil Om Ervan, menyadarkan Elgra.

"Y-ya? Kenapa, Pa?"

Om Ervan berdecak. "Ya udah. Kamu istirahat. Besok Papa dateng ke sekolah."

"Eh, enggak usah, Pa. Aku harus tetep masuk. Minggu depan udah mau UTS."

Om Ervan mendesah. Tentang anaknya pun dia tak tahu. Sampai akhirnya dia harus melihat Elgra seperti ini.

Tiba-tiba Om Ervan memeluk erat Elgra. Elgra pun terkejut. Karena jarang sekali ayahnya ini memeluknya. Terakhir yang Elgra ingat dua tahun yang lalu, saat dirinya masuk ke sekolah asrama.

"Maafin Papa, Nak. Papa jarang bahkan enggak pernah memperhatikanmu belakangan ini. Papa terlalu sibuk dengan pekerjaan." Om Ervan menepuk lembut punggung Elgra.

Mata Elgra bertemu dengan mata Athaya. Cewek Kesayangan-nya itu tengah menatapnya, mengabaikan Rayyan di sebelahnya yang sedang membenarkan posisi si Putih. Hanya senyum pahit yang dilayangkan untuk Athaya.

"Iya, Pa. Enggak apa-apa. Elgra ngerti, kok." Elgra membalas tepukan hangat sang ayah. Setidaknya dia sekarang bisa merasakan kehangatan dari ayahnya, satu-satunya orang yang dimilikinya kini. []

Athaya & Elgra [TERBIT GRASINDO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang