DUA BELAS

856 66 50
                                    

Entah mengapa sepertinya kesialan akan menimpanya sepanjang hari ini. Athaya bangun kesiangan karena semalam dia tidak bisa tidur. Setengah jam sebelum masuk?! Tuhan... Bagaimana ini?

Secepat kilat dia mandi dan bersiap-siap. "Bunda, Athaya jalan, ya! Telat banget, nih!" Dipeluknya Tante Hera dan mencium tangannya sekilas.

"Sarapan dulu, Nak!"

"Maaf, Bun," sahutnya sambil berlari keluar rumah, "enggak bisa! Sepuluh menit lagi bel...."

Athaya mendesah melihat nasibnya sekarang. Roda si Putih kempes. "Aduuuhhh. Kenapa harus sekarang, sih?" Dia menendang roda si Putih dengan rasa kesal.

Jalan satu-satunya agar cepat sampai adalah dengan berlari. Maka Athaya segera berlari secepat yang dia bisa.

Selama dia berlari, pikirannya tak berhenti. Dia merutuki dirinya. Semalam bukan karena memikirkan Elgra. Dia tidak ingin memikirkannya lagi. Tapi... Kenapa cowok itu selalu saja hadir di sela-sela pikirannya? Argh!!

Satu. Hanya satu yang mengganjal di pikirannya semalam. Tentang keputusannya untuk menyerahkan hatinya untuk Rayyan. Apa yang terjadi jika teman-temannya tahu tentangnya dengan Rayyan? Apakah yang dikatakan Rayyan itu benar? Bahwa dia akan dijauhi teman-temannya?

Walau sebenarnya kemarin Rayyan mengajukan tawaran untuk Athaya menjadi kekasihnya selama dua minggu masa percobaan. Setelah dua minggu, Athaya boleh menentukan apakah hubungan mereka akan berlanjut atau tidak. Rayyan melakukannya hanya semata-mata karena untuk menjaga perasaan Athaya.

Enggak! Enggak benar! Athaya akan membuktikan kalau semua akan baik-baik saja. Semua akan berjalan seperti biasa. Enggak akan ada bedanya.

Satu kebodohan yang disesalinya hingga pagi ini. Dia akhirnya menelpon Elgra pukul dua pagi hanya agar matanya dapat terpejam. Dan benar saja ketika mendengar satu kalimat dari Elgra yang mengucapkan, "Halo, Tha. Ada apa?", matanya terpejam sempurna.

"Tunggu, Pak!!" Pagar hampir saja tertutup rapat. Memang bukan dia sendiri yang terlambat, tapi hanya dirinya dari 12 IPS A.

"Cepat-cepat!" kata Bapak Agus, satpam sekolah yang usianya sudah memasuki usia senja.

Pandangan Athaya menatap lurus ke arah kelasnya. Langkahnya pun berhenti tepat di depan pintu yang tertutup setengah. Dia menenangkan dirinya dan mengatur napasnya. Dia membenarkan tatanan rambut yang diikat asal-asalan dan merapikan seragamnya. Lalu, dia membuka pintu.

Suasana kelas yang tadinya ribut, mendadak hening. Semua mata tertuju kepada Athaya. Athaya pun merasakan atmosfer yang berbeda dari biasanya. Dilihat pandangan aneh dari teman-temannya. Tatapannya pun terhenti kepada Elgra. Perban putih masih melingkar di kepalanya, masih sama dengan yang dilihatnya kemarin sore.

"Hai, Tha," sapanya, lalu berdiri dan mempersilakan Athaya duduk.

Dengan ragu, Athaya melangkahkan kakinya menuju tempat duduknya. Dia melepaskan tas dan menunduk dalam setelah itu.

"Elgra, kenapa lo masih baik sama dia, sih?" celetuk siswi lain dengan suara yang bisa terdengar jelas.

Athaya terhenyak mendengar itu. Sebelumnya dia tidak pernah mendapat kata-kata seperti itu. Dia meremas jemarinya. Bagaimanapun ini konsekuensi yang harus diterima. Entah sampai kapan.

"Athaya, enggak seharusnya lo kayak gini. Lo tercatat sebagai siswa teladan di sini. Tapi kenapa lo tega sama temen lo sendiri, sih?" Moreno berdecak. "Kalau kemarin gue enggak balik ke kelas, Elgra pasti udah enggak ke tolong lagi."

Athaya & Elgra [TERBIT GRASINDO]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant