4|Rumah Belajar

941 42 2
                                    

"Misha!!" Aku menoleh mendengar suara seseorang memanggilku.

"Husen!" bisikku, Husen menghampiriku yang sedang membuang sampah ketempat sampah di pojok luar pagar depan rumah, dia datang dengan nafas sedikit terdengar memburu, entah siapa yang mengejarnya. Kali ini aku tau membedakan Hasan dan husen. Husen kulitnya lebih putih dan ada lesung pipi yang nampak jelas. Wajar aja sih, Husen kan tinggal di pondok, pastinya enggak perlu panas-panas naik sepeda kesekolah.

"Eh, Assalamu'alaikum ...," ucapnya, setelah menetralkan deru nafasnya.

Melihatku yang clingak-clinguk kearah belakangnya, dia kembali berucap, "kenapa?" Husen, memutar kepalanya, mengikuti arah pandanganku.

"Wa'alaikumussalam, Siapa yang ngejar?" tanyaku,  saat tak berhasil menemukan siapapun di belakang Husen, kecuali motor yang lalu lalang.

"I..ni ... Kamu nyari ini ya," jawab Husen sambil menyodorkan kunci dengan gantungan kayu bergambar wanita hijaber lusuh yang tersenyum manis, dengan kedua tangan ditangkupkan dibawah dagu.

"Kunci rumahku!" ucapku lirih. "Aku lagi buang sampah," kataku, menunjukkan keranjang sampah di tanganku.

Melihat Husen diam, lanjutku katakan, "kok kamu tau itu kunci aku?" Aku meraih kunci di tangannya.

"Gantungan ini-" jedanya,
"Mm.. Maksud aku, tadi Hasan yang temu didepan rumah, trus minta tolong ke aku buat anterin ini ke kamu," jelasnya, dia menggarut kecil siku tangan kanannya, mirip hasan saat sedang berbohong.

Astagfirullah, beristighfar dalam hati. Menetralkan ke kepoanku, supaya tak bertanya lebih dan berhenti su'udzon.

"Oh.. Makasih ya, jadi kamu buru-buru kesini nganterin ini, bukan karena ada yang ngejar?" tanyaku memastikan. Husen mengangguk terlihat kaku.

"Aku gak sadar kalau itu gak ada, soalnya tadi nenek ada dirumah jadi gak perlu cari kunci rumah lagi," jawabku, tersenyum.

"Mampir dulu Sen." Tawarku.

"Hmmm.. Nenek ada ya Sha, gimana kabar nenek?"

"Iya ada. Alhamdulillah nenek baik. mampir aja dulu!" Tawarku lagi berbasa-basi. Sejujurnya aku merasa aneh kalau mengobrol berdua begini, apalagi dengan lawan jenis. Khawatir khalwat, berduaan dengan yang bukan mahram, walau ini di tempat umum.

"Gak usah Sha makasih, kasian Hasan sendiri, umi lagi jalan." Tolak Husen. Aku ngangguk-ngangguk paham sekaligus lega.

"Oh iya, makasih ya. Tolong sampein makasih juga ke Hasan ya," ucapku

"Iya, insyaallah. Aku pamit ya, Assalamu'alaikum." Pamit hasan berlalu, setelah mendengarkan jawaban salam dariku.

Aku menatap punggungnya yang menjauh, berbelok masuk ke rumahnya setelah melewati dua rumah di samping rumahku. Dia menengok kearahku sebelum masuk ke dalam rumahnya, segera kualihkan pandanganku, dan buru-buru masuk ke dalam rumah, tak mau ketahuan melihatnya.

Dia buru-buru hanya untuk mengantar kunci rumahku yang terjatuh disana. Padahal Dia bisa berjalan santai, untuk jarak rumah sedekat ini. Atau dia bisa berteriak dari depan rumahnya, menyuruhku mengambil sendiri kesana. Atau karena dia pikir aku sedang mencari kunci rumah.

"Nek!" panggilku berdiri di dekat nenek yang sedang duduk santai didepan jendela ruang tamu dengan buku mengajarnya di tangannya. Nenek berdehem melihatku sekilas.

Nenek disaat orang tua seusianya mulai istirahat dirumah bersantai dan menikmati kegiatan-kegiatan santai dirumah. Berbeda dengan nenekku orang yang tidak bisa diam meskipun dirumah bahkan beliau masih aktif mengajar di pesantren. Mungkin sebab itulah, nenek selalu terlihat bugar, selalu berpenampilan rapih, berwibawa, dan pintar.

Where Is My Calon Imam? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang