Bab 0.5

987 38 0
                                    

Alena terbangun, setelah semalaman ia menangis. Matanya membengkak, dan tampilannya sangat acak-acakan.

Ia melihat dirinya di kaca, "Ya Allah, ini gue apa setan sih?"

Lalu ia menatap perban yang dipasang oleh Abangnya di tangannya. Ia melepasnya perlahan lalu meringis.

Melihat perlakuan Fikri semalam, membuat hatinya goyah. Abangnya itu tetap baik kepadanya walaupun sudah berapa kali ia menyakiti Abangnya.

Gue gak boleh kemakan perhatian dia, raung Alena didalam hati.

Ia memilih untuk melaksanakan shalat subuh terdahulu. Setelah selesai dengan ibadahnya, ia membuka bajunya lalu menghidupkan shower dan mengatur suhunya menjadi air hangat.

Air hangat itu mengalir, membasahi seluruh tubuhnya. Ia memejamkan matanya, menikmati sensasi hangat yang menjulur ke seluruh tubuhnya. Sesekali meringis karena tangannya terasa perih.

Sekelebat memori muncul di kepalanya.

"Papa! Alena juara 1 dikelas." seru Alena kecil dengan polos. Papanya meliriknya tanpa minat lalu kembali meneruskan pekerjaanya.

"Papa kok gitu si." Alena memanyunkan bibirnya.

"Pergilah sana! Tak berarti nilaimu itu, lihat Abangmu! Dia bisa memenangkan olimpiade fisika tingkat provinsi."

Alena kecil terdiam, ia melangkahkan kaki kecilnya dengan perlahan. Matanya memerah dan air mata mengumpul di pelupuk matanya. Dalam sekejap, isakan lolos dari bibir gadis kecil itu.

"Enggak! Papa jahat! Semua orang jahat!" teriaknya di kamar mandi.

Bayangan demi bayangan itu kembali bermunculan, seolah membiarkan Alena mengingat bahwa semua orang selalu membangga-banggakan Abangnya dan selalu mengucilkan dirinya.

Seluruh keluarganya pun begitu, hanya Neneknya dan Dewa saja yang sangat baik dan sayang kepadanya. Karena itu, setelah Neneknya tiada, ia tak memiliki tempat untuk mengadu lagi.

Selain itu, setelah Neneknya meninggal, suatu kejadian terjadi dan menyebabkan Dewa meninggal.

Yang membuatnya heran adalah, ia adalah satu-satunya anak perempuan diantara para sepupunya. Membuatnya selalu diganggu dan yang bisa ia lakukan hanya menangis.

Gadis kecil itu menangis, Neneknya pergi meninggalkannya. Ia menatap gundukan tanah itu dengan pilu, "Nenek! Huaa! Abang, Lena mau ikut Nenek!"

"Adek, udah Adek. Nanti Nenek sedih kalo ngelihat Adek sedih." Alena kecil sontak terdiam, "Nenek gak boleh sedih, Bang." lirihnya.

"Makanya kamu berhenti nangis." Alena mengangguk walau ia masih sesegukan.

"Yaudah, kamu kalo mau ikut Nenek mending mati aja sana." sahut Rimba dengan ketus. Rimba adalah salah satu Abang sepupunya. Entah karena apa, sepupunya itu selalu ketus kepadanya, begitupun yang lainnya.

"Nenek!" serunya dikamar mandi, air matanya mengalir deras. Namun tak terlihat karena air matanya menyatu dengan air hangat yang mengguyur badannya.

Gedoran pintu membuatnya tersadar, ternyata Abangnya mendengar teriakannya. Dengan nafas yang tak beraturan, ia segera menyelesaikan ritual mandinya dan melilitkan handuk di tubuhnya. Lalu membuka pintu dengan tatapan sinisnya.

"Apa sih? Ganggu orang lagi santai aja!" sungutnya, Abangnya menghela nafas lega.

"Abang kira kamu kenapa-kenapa. Abang khawatir sama kamu, Lena." Fikri menatap dalam mata Alena dan memegang kedua bahu Alena yang tak tertutupi apa-apa.

I'm brOKenWo Geschichten leben. Entdecke jetzt