Bab 0.7

900 31 2
                                    

Flashback on...

Semenjak Alena meminta Ares untuk jaga jarak dengannya, lelaki itu mendadak menjadi diam, bahkan dia tak menghiraukan Maya ketika berbicara dengannya. Mungkin hanya sesekali ia menjawab ucapan Mamanya itu, membuat Mamanya bertanya-tanya 'ada apa dengan anakku?'

Bahkan hingga larut malam, Ares tidak bisa tidur. Pikirannya terus-terusan melayang ketika Alena menyuruhnya untuk menjauh.

"Kalo itu mau lo, gue lakuin Alena." gumamnya, lalu ia memutuskan untuk memejamkan matanya.

*****

Sudah dua hari, Alena tak melihat Ares. Ia kelimpungan, terbesit rasa khawatir di benaknya hingga ia diam-diam mencari informasi tentang Ares.

Dan ia mendengar, ralat—lebih tepatnya menguping pembicaraan Davin dan teman-temannya. Mereka mengatakan bahwa akan menjenguk Ares yang sedang demam tinggi.

Apa karna gue Ares sakit? Batin Alena, mengingat setelah Ares mengantarkannya pulang dua hari yang lalu hujan deras kembali mengguyur kota Bandung.

Ingin rasanya ia menjenguk atau setidaknya menanyakan kondisinya ke Mama Ares. Dan sekali lagi, ego yang mengendalikannya.

*****

Alena tak bisa tidur, ia berulang kali berusaha memejamkan matanya namun ia tetap tak tertidur juga.

Setiap ia memejamkan matanya, bayang-bayang Ares memasuki pikirannya.

Alena mengacak rambutnya frustasi, ia merutuk kesal. Si bego Ares itu masih saja bersarang di pikirannya.

"Persetan dengan ego!" serunya, ia segera bangkit dari kasurnya lalu memakai hoodie hitam serta jeans hitam juga.

Ia keluar dari kamarnya dengan perlahan, lalu mengecek kondisi rumahnya. Takut-takut bila ada 'orang tua' nya.

Perlahan melangkah menuju pintu namun suara seseorang menghentikannya.

"Alena, mau kemana kamu?"

Sial! Rutuknya dalam hati. Ia menormalkan wajahnya lalu menatap Abangnya itu dengan datar.

"Rumah pacar gue, mungkin?" jawabnya santai, ia melipat tangannya dibawah dada lalu menatap Fikri dengan tatapan menantang.

"Udah punya pacar kamu?!" Alena mengendikkan bahunya lalu keluar dari rumahnya dengan santai. Ketika ia akan menaiki motornya, Fikri dengan cepat mengambil kunci motor tersebut.

Alena menatapnya dengan tajam, "Balikin kunci gue." geramnya, suaranya merendah.

"Gak sebelum kamu ngasih tau kamu mau kemana!" seru Fikri, Alena tersenyum sinis.

"Lo kira dengan lo ngambil kunci motor gue, gue gak bisa pergi gitu?" Alena turun dari motornya, lalu dengan santainya ia keluar dari gerbang lalu berjalan santai.

Cuaca Bandung malam ini terasa dingin sekali, ia memasukkan tangannya kedalam saku hoodienya.

"Alena! Seenggaknya kasih tau Abang kamu mau pergi kemana!" lagi dan lagi Fikri mengulur waktunya.

Ia menatap tangan Fikri yang mencekal pergelangan tangannya, "Tangan lo." ucap Alena, seakan tau apa yang Alena maksud, Fikri menjauhkan tangannya.

"Sebaiknya lo jangan ikut campur urusan gue, paham?!"

"Gak bisa! Aku kan Abangmu!"

"Serah."

"Aku lapor nih sama Papa ya?!" tekan Fikri, Alena menatap Fikri dengan takut.

"Jangan dong, aduh gue takut—" lalu Alena terkekeh sinis, "Lapor sana, gue gak takut. Lagian, emang dia peduli sama gue? Nggak kan?!"

Dengan cepat ia mendorong Fikri lalu segera menyetop taksi yang lewat dan menaikinya.

"Perumahan jatinangor ya mang." supir tersebut mengangguk lalu segera menancapkan gasnya.

Alena membuka kaca mobil lalu menunjukkan jari tengahnya ke arah Fikri yang berusaha mengejar taksi ini.

*****

Sesampainya dirumah Ares, Alena melirik jam di tangannya. Untung masih jam 9, batinnya.

Ia mengetuk pintu rumah Ares lalu mengucap salam. Tak lama, seorang lelaki membuka pintunya.

"Selamat malam, nyari siapa ya?" sejenak Alena terpesona, wajah lelaki tersebut sangat mirip dengan Ares. Mulai dari hidung, bulu mata, alis bahkan bibir. Hanya saja, warna kulit lelaki ini putih sedangkan Ares kuning langsat.

"Kamu pasti adiknya Ares ya?" tanya Alena dengan ramah, lelaki tersebut mengangguk lalu mempersilahkan dirinya untuk masuk.

"Tante Mayanya ada, Dek?" tanya Alena dengan sopan.

"Kebetulan Mama sama Papa lagi pergi keluar kota Kak. Dirumah ini cuman aku sama si dugong." Alena tertawa, mungkin yang dimaksud adalah musuhnya?

"Boleh aku lihat, Abangmu itu?"

"Tentu, tapi Bang Ares barusan aja tidur. Dari tadi kerjanya marah terus, padahal tadi aku ngambilin makan buat dia, trus yaudah aku kasih obat demam aja." curhat Tama panjang lebar.

"Kakak ke kamar Ares ya, Tam." Tama mengangguk lalu ia melanjutkan makannya yang sempat tertunda.

Sesampainya di depan kamar Ares, ia membuka pintu kamar Ares secara perlahan, ia segera masuk lalu membiarkan pintunya terbuka sedikit.

Ia dapat melihat Ares sedang tidur, namum peluh keringat membanjiri keningnya dan juga sedari tadi Ares tak berhenti bergerak dengan gelisah.

Alena mendekati Ares lalu menyentuh kening Ares yang terasa sangat panas. Perlahan ia menjatuhkan bokongnya di tepi ranjang Ares.

Untung saja ia tadi sempat membeli cool fever, ia membuka plastiknya lalu menyingkap rambut ares yang berserakan dan menempelkan benda tersebut ke kening Ares.

Ia mengamati wajah Ares yang terlihat damai saat menutup matanya.  Perlahan tangannya terulur untuk mengusap pipi Ares, membuat Ares mengerjapkan matanya lalu menatap lemah Alena yang terpaku.

Ares tersenyum tipis, ia menggerakkan tangannya dengan lemah lalu mengusap pipi Alena, "Kenapa lo nyuruh gue jauhin lo, Len?" tanyanya dengan lemah.

Alena membeku akibat sentuhan itu, ia segera menarik tangannya, "Gue balik Res, semoga cepat sembuh!" ucapnya, ia berdiri namun tangannya ditahan oleh Ares.

Lalu Ares menariknya dan krna tak bisa mengendalikan keseimbangannya, Alena pun terjatuh di atas tubuh Ares. Dan bibir Ares tak sengaja mengenai sudut bibir Alena, "Jangan pergi." bisik Ares lembut, lalu ia kembali tertidur.

Alena membeku, ia memegang sudut bibirnya dengan muka yang memerah, menahan perasaan yang bercampur aduk di hatinya.

Ia ingin melepaskan diri dari Ares namun Ares malah mendekapnya dengan erat.

Ya tuhan jantung gue lagi dugem, rutuknya dalam hati.

I'm brOKenWhere stories live. Discover now