Bab 1.1

867 36 1
                                    

Alena meminum air yang sudah disediakan Ares. Ia duduk duduk di tepi ranjang dan mengambil lengan baju Ares lalu menyisihkan cairan dari hidungnya disitu.

Ares mendengus geli, "Gadis jorok." ucapnya sambil mendorong kening Alena dengan telunjuknya.

Alena hanya terkekeh pelan sebelum air matanya kembali jatuh, "Luka lama belum tertutup, kini malah timbul luka baru." Alena terisak pedih, kenapa Tuhan menakdirkannya lahir sebagai anak yang tak diharapkan? Apa salahku ya Tuhan?

Ares meraih lengan Alena lalu mendekap gadis itu erat, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut lelaki itu, ia membiarkan Alena mengeluarkan segala uneg-unegnya.

"Mereka berulang kali mencampakkanku, seolah aku adalah orang hina yang tak pantas mendapatkan kasih sayang," lirih Alena, ia memeluk Ares erat, "Semuanya masih bisa kuterima, hingga tadi..." jedanya sebentar, ia mencoba menguatkan hatinya untuk mengatakan ini.

"Mereka memperlakukanku seperti itu hanya karna materi, mereka menganggapku pembawa sial." isak Alena semakin menjadi. Ia mengepalkan tangannya, perkataan Papanya terus mengulang bagai kaset rusak.

"Kesalahanmu adalah kau lahir di keluarga kami, menghancurkan segala yang harusnya kami punya, gara-gara kau kami tak bisa mendapatkan harta milik Kakekmu!"

"Kalo aja mereka tau, gue juga gamau terlahir diantara orang-orang yang hanya bisa menyakiti fisik dan batin gue," Ares merasakan Alena mulai melonggarkan pelukannya, "But i can't do it anymore, i always hoped that they can change their mind. I hoped that they will accept me as their family, but their not. And then i can't do it any longer."

"Res, apa yang harus gue lakuin?" desak Alena, ia meremas kaos yang dipakai oleh Ares, sedangkan lelaki itu tak mengucapkan satu kata pun dan hanya mengelus punggung Alena.

Ares mengecup puncak kepala  Alena lalu berbisik, "Gue akan selalu ada buat lo, Alena."

"Gue benci bisa selemah ini di depan lo." Alena memejamkan matanya ketika merasakan kecupan hangat di puncak kepalanya.

Gadis itu tiba-tiba menjauhkan dirinya lalu mengusap jejak air matanya, "Res, kenapa gue selalu lemah di hadapan lo?"

Ares diam, ia pun tak tahu mengapa, namun ia merasa senang ketika Alena terbuka kepada dirinya.

"Jawab Res." Alena memegang erat kedua lengan Ares.

Ya Tuhan, jantung gue gak bakalan kuat kalo gini terus, batin Ares. Ia menghela nafasnya lalu menatap dalam gadis di depannya.

"Gue juga gak tau, tapi asalkan lo tau, gue seneng kalo lo bisa terbuka sama gue."

Setelah Ares mengatakan hal tersebut, keheningan melanda mereka. Mereka berdua sama-sama tak tahu apa yang harus diucapkan lagi.

"Em, Res?" Ares menoleh lalu berdeham singkat, sementara Alena memilin ujung bajunya karena gugup, "Gue boleh stay dirumah lo sampe beberapa hari ke depan?"

"Of course, why not?"

Alena tiba-tiba menubruk dada bidang itu lalu bergumam mengucapkan terima kasih, Ares tersenyum karna hatinya kembali menghangat.

"Waduh Pa, kita kawinin aja yuk mereka berdua!" seru Mama Ares yang tiba-tiba berada di ujung tangga bersama Suaminya yang kini tengah mengangguk setuju.

Keduanya sontak menoleh, berbeda dengan Ares yang kini menampilkan cengirannya, Alena kini menunduk malu.

"Yaudah Ma, Pa, kawinin aja, kalo perlu besok." celoteh Ares yang mengundang cubitan di pinggangnya.

"Aw! Tuh kan Ma, Pa, Alena agresif banget." Alena hendak menjambak jambul kesayangan Ares, namun ia tahan. Harus kontrol diri kalau di dekat calon mertua. Eh?

"Kawin? Ulangan kamu aja nilainya masih merah, kamu bilang kamu mau kawin?" ledek Papanya, membuat Mamanya terkekeh, "Alena, tolong bantu dia dalam belajar ya? Ares pernah cerita katanya kamu siswi terdisiplin dan pintar ya disekolahan?"

Ares mengangguk setuju, lagipula ia bisa bersama Alena setiap saat, bukan?

Gadis itu mengangguk kaku, "Baik Om, akan Alena coba."

"Panggil Papa saja, Nak." jawab Tio—Papa Ares.

Sekali lagi, keluarga Ares benar-benar membuatnya iri. Namun ia beruntung bisa bertemu dengan mereka.

*****

"Res, ini gue beneran tidur disini?" tanya Alena tak percaya, setelah orang tua Ares tahu Alena sedang dalam masalah, mereka mempersilahkan Alena tidur di kamar Ares untuk sementara.

"Udah lima kali lo nanya, dan jawabannya tetep sama." kata Ares dengan wajah datarnya.

"Tapi lo gimana?"

"Gue tidur dikamar sebelah, bareng adek gue." Ares tampak memikirkan sesuatu sebelum ia menatap Alena dengan seringaiannya, "atau lo mau tidur bareng gue?"

"Sinting." Alena memutar bola matanya lalu ia duduk di tepi kasur.

"Besok, berarti gue ga sekolah dong?" tanya Alena tak semangat, sementara Ares terkekeh pelan, "kalo model kaya lo, satu hari ga sekolah gabakal bodoh."

"Res besok temenin gue beli baju sekolah ya?" Ares menatapnya sambil mencibir, "berasa tukang ojek gue."

"Gamau juga gapapa, gue bisa sendiri." ucap Alena sambil meliriknya sinis, "sewot amat jadi orang."

"Haduh jam berapa ya, hoam... ngantuk nih gue." Alena membaringkan badannya lalu menarik selimut, "ngusir secara halus ini mah namanya. Tapi gue kasih peringatan buat lo deh..."

Melihat kerutan di dahi Alena membuatnya meneruskan kalimatnya, "biasanya suka ada yang ngetok jendela gue pas jam 2 terus ketawa gajelas gitu."

"Ngaco lo!"

"Yaudah yang penting gue udah kasih tau."

"Gatakut gue, wlee!"

Alena memeletkan lidahnya, hingga...

Jduarr!

Petir menggelegar datang, sontak Alena menutup kedua telinganya dan menjerit memanggil nama Dewa.

"Hey, it's fine, ok?" tiba -tiba Ares membalikkan badannya lalu memegang kedua bahu gadis yang tengah ketakutan itu.

"Res, to-tolong temenin gue disini." Alena nampak kalut, dengan tangan yang bergetar ia menggenggam tangan Ares dengan kuat.

"Tidurlah, gue disini." Alena mengangguk lalu segera memejamkan matanya, tepat disebelahnya Ares duduk.

Ia memilih menidurkan kepalanya di paha Ares lalu memeluk perut Ares dengan erat.

Untuk beberapa saat, mereka berdua sama-sama terdiam, "Res!" panggil Alena, Ares hanya berdeham.

"Makasih." ucap Alena samar. Tanpa sepengetahuan Alena, Ares tersenyum lebar, hatinya berulang kali menghangat karna tingkah laku perempuan yang kini sedang memeluk perutnya.

Ia menggerakkan tangannya lalu mengelus puncak kepala Alena.

Makasih Res, lo ada untuk gue ketika seluruh dunia membuang gue, lo tetep ada walau 1000x gue nyuruh lo untuk pergi. Kini, gue tau rasa ini rasa apa, tapi gue takut kehilangan lagi. Jadi, bolehkan gue egois agar gue gak merasakan kehilangan lagi?

I'm brOKenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang