Bab 1.3

882 34 5
                                    

"Suster!" teriak Ares setelah mereka sampai di rumah sakit terdekat.

Para perawat itu berlari membawa brankar, Ares menidurkan Alena di brankar itu pelan-pelan.

Para perawat itu pun mendorong brankar, dan Ares pun setia mendorong brankar itu sambil menatap cemas Alena yang kini tersenyum tipis kepadanya.

Sialnya, ketika mereka sudah di depan pintu UGD, salah satu perawat melarangnya untuk masuk.

"Tapi cuman saya walinya." kekeuh Ares, bahkan tanpa sadar air mata menetes dari kedua matanya.

"Tetap saja, Dik. Tidak boleh masuk." perawat itu dengan cekatan menutup pintunya.

Ares terduduk lemas, ia mengusap wajah dan mengacak rambutnya karna frustasi, lalu Ares mengambil handphone dari sakunya dan mengetikkan nomor Mamanya.

Setelah beberapa nada terdengar, akhirnya Mamanya mengangkat panggilan tersebut.

"Halo?"

"Mama, bisa ke rumah sakit?" tanyanya dengan suara yang bergetar, ia mengusap air matanya yang merembes keluar.

"Ada apa, Ares? Kamu kenapa? Kamu dimana? Sudah ketemu dengan Alena?" tanya Mama Ares dengan cepat sementara Ares menghela nafasnya.

"Tolong Mama ke rumah sakit dulu ya Ma, Ares panik, nanti Ares ceritain Ma." pinta Ares.

"Rumah sakit dimana, Ares?"

"Tempat Mama kerja."

Mama Ares mematikan sambungan telepon tersebut, Ares menghela nafasnya  kasar. Ya Allah, kenapa hidupnya seperti ini? Batin Ares.

Ia memeluk kedua lututnya dan menenggelamkan wajahnya disana. Bayangan wajah Alena yang disiksa oleh keluarganya itu mendadak membuat amarah kembali mengontrol dirinya.

"Jaya Wishaka," gumam Ares dengan tangan yang mengepal, "kau harus kuberi pelajaran." giginya bergemelutuk.

"Ares!" panggil seseorang, Ares menoleh dengan pandangan tajamnya, namun pandangannya berubah lembut ketika Mama, Papa, serta Adiknya, berlari kearahnya. Mereka cepat sampai karena jarak rumah ke rumah sakit ini sangat dekat.

"Ada apa, Ares?" tanya Mamanya panik.

"Alena," mata Ares bergerak menatap sendu pintu UGD yang belum terbuka sama sekali sejak 30 menit yang lalu, "Maaf, Ares gagal menjaga Alena, Alena disiksa lagi oleh Jaya Wishaka."

"Jadi Alena anak dari keluarga Wishaka?!" tanya Papa Ares, terkejut.

"Keluarga Wishaka itu berhutang banyak dengan perusahaan kita, dan juga perusahaan kita memiliki banyak saham disana." jelas Papa Ares ketika melihat tatapan bingung dari keluarga kecilnya.

"Ga nyangka Mama sama keluarga Wijaya, terutama Setya. Dia adalah salah satu teman arisan Mama." ungkap Mama Ares.

Ares menyeringai, menatap Papanya yang kini juga tengah menatapnya, "Papa," panggilnya, "Ares rasa Papa tau apa yang Ares inginkan."

"Kau itu anak Papa, dan jangan lupakan juga sifat kita yang memang tiada bedanya, jadi—" jeda Papa Ares sambil ikut menyeringai, "—Papa sangat tau apa yang kau inginkan."

*****

Alena membuka matanya perlahan, beberapa jam yang lalu setelah semua lukanya di obati, ia sangat mengantuk kemudian tertidur.

Pertama ia tak bisa melihat apa-apa selain buram, setelah itu ia melihat Ares yang tengah menunduk, bahunya pun sesekali bergetar.

"Ares?" lelaki itu mendongak, lalu terkejut melihat Alena yang sudah bangun, "lo nangis?" tanya Alena, tak percaya.

"Nggak, lagi boker!" ketus Ares, ia menghapus jejak air matanya.

Alena terkekeh pelan, "Kenapa nangis?" tanya Alena sambil berusaha bangkit dari tidurnya.

"Lo itu bikin orang khawatir tau gak? Lo tadi ngapain sampe bisa dirumah Bapak tua itu? Lo itu ngebahayain diri lo sendiri tau gak, liat muka lo sekarang, udah jelek makin jelek." cerocos Ares panjang lebar membuat bibir Alena maju beberapa centi.

"Bapak tua yang lo maksud itu, Bokap gue." ucap Alena, bagaimanapun ia berhutang budi kepada Papanya yang mau membesarkannya walau dalam keadaan terpaksa dan juga tanpa perhatian.

"Bokap? Setelah perlakuan dia kaya begitu, masih lo bilang dia Bokap lo?" tanya Ares, tak percaya.

"Memang faktanya gitu," jawab Alena, "Mau gimana pun seseorang pasti berbuat salah."

"Masih aja lo bela," Ares membuang mukanya, "Tau ah." ucapnya sambil melipat tangannya di bawah dada.

"Lo lagi ngambek?" tanya Alena.

"Menurut lo?" tanya Ares balik, lalu ia menatap Alena yang menatapnya juga. Mata Alena berhasil membuat jantung Ares berdegup kencang.

"Jangan ngambek, entar gantengnya ilang." ucap Alena tersenyum manis, sementara Ares tak dapat menahan senyumannya. Ia merasa darahnya berdesir hebat, bahkan wajahnya memanas.

Alena mengalihkan pandangannya, "Walaupun lo gak ada ganteng-gantengnya sama sekali sih." ucapnya santai.

Seketika senyuman Ares luntur, ia menatap datar Alena yang kini menaik-turunkan alisnya, guna menggoda dirinya.

Ares dengan cepat memeluk Alena dengan gemas, sesekali ia menggelitiki Alena, "Tadi ngomong apa lo, hah?!" tantang Ares.

"Ares, udah! Ares! Gue gak bisa napas!" Alena menepuk-nepuk dada bidang Ares, bukannya melepas Ares malah mempererat pelukannya.

Ares menghela nafasnya, "Maafin gue, Len. Kalo bukan karna omongan gue, mungkin ga bakal gini kejadiannya." ucap Ares lirih, mendadak Alena terdiam, bahkan ia sudah tidak memukul Ares lagi.

"Bukan salah lo." lirih Alena, lalu perlahan membalas pelukan Ares.

"Maaf." gumam Ares berkali-kali.

Mama dan Papa Ares yang akan masuk ke dalam ruangan Alena pun mengurungkan niatnya, melihat mereka membutuhkan waktu untuk berdua.

Papa Ares tersenyum menggoda, "Kita kencan aja yuk, Ma?" tawar Papa Ares sambil mengedipkan matanya.

Mama Ares mendengus, "Udah tua juga, masih aja mau kencan," balas Mama Ares cuek membuat Suaminya itu mendelik sebal. Mama Ares terkekeh, "Ayok kencan."

*****

"Sialan! Sudah kuduga ini akan terjadi." geram Jaya. Tadi pada saat ia sedang bersantai, tiba-tiba sekretarisnya menelpon dirinya dan mengatakan bahwa perusahan keluarga Pradipta telah mengambil kembali saham mereka yang merupakan sebuah dorongan agar perusahaan mereka tetap maju. Dan yang lebih parahnya lagi, perusahaan milik Pradipta mengharuskan dirinya untuk membayar segala hutang-piutang yang pernah terjadi.

Jaya menendang meja di depannya dengan penuh amarah, "Jangan senang dulu kau anak sialan! Akan kupastikan kau akan menangis sampai air matamu kering."

Jaya tertawa licik, ia bersumpah akan membalas segalanya.

I'm brOKenWhere stories live. Discover now