Bab 0.9

878 27 0
                                    

"Halo! Apa ada orang disini?!" sedari tadi Alena tak berhenti berteriakIa sudah jenuh dengan ruang gelap yang tak berujung ini.

Ia berjalan tak tentu arah karna ruang gelap ini serasa tak berujung, "Nenek! Dewa!" teriaknya berulang kali.

Ia takut, sangat takut. Akhirnya ia jatuh terduduk sambil menyeka air matanya yang entah sejak kapan telah keluar dari tempat persembunyiannya.

Ia takut akan terperangkap di dalam ruang ini selamanya.

"Alena." suara seseorang mengalun lembut di telinganya, ia mendadak membeku. Ini adalah suara, "Nenek!" Alena menghambur ke pelukan sang Nenek sambil menangis tersedu-sedu.

"Aku selalu berharap Nenek datang ke mimpiku, tapi kenapa baru sekarang?" isaknya tak karuan. Sang Nenek hanya tersenyum lalu mengelus rambut cucunya dengan penuh kasih sayang.

"Dengarlah, cucuku. Kau adalah cucu yang paling Nenek sayang, paling Nenek banggakan, dan yang pasti yang paling hebat," jeda Nenek, beliau mengecup puncak kepala cucunya dan tak berhenti mengelus rambut cucunya itu, "Kau juga adalah orang tersabar yang pernah Nenek temukan di dunia ini."

"Memang kesabaran itu ada batasnya Alena, tapi nyatanya bagi Allah kesabaran itu tak terbatas. Semakin kita bersabar, maka semakin banyak ujian yang dikirimkan-Nya." kata Neneknya dengan lembut, perlahan isakan Alena mereda.

"Tapi aku sudah tak kuat lagi Nek, aku ingin bersama dengan Nenek dan Dewa saja." lirih gadis itu, ia tetap memeluk erat Neneknya, seolah ketika ia melepas pelukan maka Neneknya akan menghilang.

"Kau tak boleh berada disini, sayang. Kembalilah ke duniamu, ada banyak rahasia yang harus kau bongkar, jangan putus asa dengan keadaanmu sekarang," jeda sang Nenek, beliau berusaha melepas pelukannya dengan kuat, "Lagipula masih ada lelaki muda yang akan tulus membantumu, cucuku."

"Siapa dia, Nek?" sang Nenek tertawa renyah, "Kenapa kau tak menyadarinya Alena?" tanya sang Nenek balik.

"Ares. Nenek yakin dia pasti akan selalu membantumu dengan segenap hatinya." Alena tertegun dengan rona merah di pipinya.

"Oh, lihatlah! Darimana datangnya warna tomat di pipi cucuku ini?" Nenek mencubit pipi Alena karna gemas.

"Nek! Berhentilah menggodaku!" Alena tersipu malu, membuat Neneknya terkekeh.

Seteleh terkekeh, sang Nenek memasang kembali wajah serius, "Kembalilah Alena!" bersamaan dengan itu, ia seperti tertarik oleh cahaya putih yang menyilaukan. Ia memejamkan matanya dan ia mendengar Neneknya berteriak; "Ingatlah pesan Nenek! Bunga yang kau pikir layu, hingga sekarang masih mekar walau sedang tak berada di sisimu!"

*****

Sudah semalaman, Alena sama sekali tak sadar membuat Ares sangat khawatir. Ares berulang kali mengelus rambut Alena.

"Bangun, dong." Ares menghela nafas pasrah lalu menidurkan kepalanya di sisi Alena. Tak lama, ia masuk ke dalam alam mimpinya.

Namun ada yang lain ketika ia terlelap. Ia merasa terseret arus sungai, namun kali ini ia seperti merasa sangat nyaman.

*****

Ares membuka matanya, pertama kali yang ia lihat adalah ia sedang terbaring di rumput, menghadap air terjun yang mengalir dengan deras.

Ares merasa sangat nyaman disini, apalagi aroma di sekitarnya terasa sangat natural. Ia melihat ke sekitarnya, bunga-bunga indah yang menyapa matanya.

Tapi kenapa disini sangat sepi? Pikirnya. Tak lama, ia merasakan jejak kaki yang mendekat ke arahnya, "Anak muda." panggil seseorang, ia menoleh dan mendapati seorang Nenek yang wajahnya sangat cerah.

"Maukah kau membantuku?" tanya sang Nenek lagi, Ares berdiri dan mengangguk cepat, "Apa yang harus saya lakukan, Nek?"

"Cukup tolong jaga cucu kesayanganku, dan bantulah dia," jeda Nenek tersebut, "Walau aku tau kau akan menjaganya tanpa kusuruh." kekeh Nenek itu lagi.

"Saya tak mengenal cucumu, Nek." kening Ares mengernyit.

"Alena, tolong jaga dia, bantu dia menyelesaikan masalahnya. Kau tau? Alena adalah cucuku yang paling terkuat, namun aku tau ia tak bisa kuat ketika di hadapanmu. Percayalah, dia hanya berpura-pura tegar ketika sedang bersamamu, Nak."

"Alena? Tentu saya akan membantunya, Nek." Nenek Alena terkekeh, "Berjanjilah kepadaku, Anak muda. Jangan meninggalkannya walau ia terus berkata sebaliknya. Dan jika kalian sudah benar-benar bisa memecahkan masalahnya, kalian akan tau ada banyak rahasia yang ku tutupi, maka dari itu aku sangat meminta maaf dari sekarang."

Ares!

Ares!

"Sudah waktunya untukmu kembali, Nak. Jangan lupakan pesanku!" bersamaan dengan itu, ia merasa tertarik oleh arus lagi.

*****

Alena mengerjapkan matanya, berusaha menetralkan cahaya menyilaukan yang menelusup masuk ke matanya.

Ia merasa berat di bagian tangan kanannya, ketika menoleh ia menganga karna Ares tertidur dan menjadikan tangannya yang di genggam Ares serta sebagai bantalan.

Tak lama, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, hatinya menghangat.

Ia menggelengkan kepalanya lalu berusaha membangunkan Ares, "Ares!" panggilnya, namun Ares tak bangun.

"Ares!" panggilnya kedua kali, namun Ares hanya mengerutkan keningnya.

"Buset ini orang apa kebo si?" guman Alena tak percaya, "Areeeees!"

Alena berusaha menahan tawanya sehingga yang keluar hanyalah senyum geli ketika melihat Ares terlonjak dan bangun, teriakan gue membahana juga ya, batinnya tergelak.

Setelah nyawa Ares benar-benar sudah terkumpul, suasana canggung terjadi di antara mereka.

"Pulanglah, Res." ucap Alena datar, sementara Ares hanya berkedip polos, "Apa Len?"

"Ish, ganteng-ganteng budek." gumam Alena pelan, "Gue emang ganteng, makasih pujiannya." ucap Ares dengan bangga sambil menepuk dadanya.

"Pd! Giliran yang bagus aja denger!" sewot Alena, Ares terkekeh membuat Alena meliriknya dengan sebal.

"Balik, lo! Gue muak, kepingin muntah ada lo disini." sinis Alena, gadis itu mengambil gelas yang berisi air tepat di nakas sebelahnya. Ares menatapnya dengan santai, "Lo hamil? Ayahnya Pasti gue, yakan?"

Alena tersedak, "Lo gila? Balik gak? Gue siram nih?!" ancam Alena.

"Siram aja, gue rela." Alena menatapnya dengan tajam, "Res." peringatnya dengan nada yang rendah.

Ares menghela nafas lalu mengangguk, "Iye, gue pulang." ucapnya dengan tak rela.

Ares mengacak pelan rambut Alena, "Cepat sembuh, musuh terbesarku."

Ares memutar badannya ketika ia sudah memutar knop pintu, "Gue gak bakalan pernah pergi, jadi sia-sia kalo lo terus berharap seperti itu."

Setelah kepergian Ares, Alena memegangi dadanya dan merasakan detakan yang sangat cepat berasal dari dalam sana.

Apa bener yang Nenek ucapin di mimpi gue tadi?

*****

"Hai, Alena!" sapa Qiara setelah ia masuk ke dalam ruangan Alena.

"Tau darimana lo, gue disini?"

"Ares lah." jawab Qiara dengan ceria, "Tau ga? Dia tuh khawatir banget sama lo."

"Buktinya aja nih ya, sampe gue dateng dia masih setia di depan kamar lo, blablabla."

Alena tak mendengarkan ocehan panjang lebar temannya itu. Yang jelas kini hatinya kembali menghangat.

I'm brOKenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang