Bab 1.0

930 32 1
                                    

"Makan." ucap Ares, ia meletakkan bubur ayam tepat di hadapan Alena.

Alena membuka kotak itu lalu mengernyit, sebenarnya ia tak menyukai bubur, tapi karna ia menghargai Ares yang sudah membelikannya makanan, ia mencoba memasukkan satu sendok bubur tersebut ke mulutnya.

Ia bergidik ketika bubur tersebut melewati tenggorokannya tapi ia tetap menelannya dengan susah payah.

Tapi rasanya.., not bad, ucapnya dalam hati. Ia memakan bubur itu hingga suapan terakhir.

"Gue tau lo gak suka bubur," ucap Ares memecah keheningan, ia mengambil tisu lalu membersihkan sudut bibir Alena, "Maaf karna gue cuman bisa buat bubur, dan makasih karna lo udah ngehargain usaha gue."

Alena terdiam, ia menatap mata Ares yang tengah menatapnya juga, "Jadi yang buat buburnya lo?"

Ares tersenyum bangga sambil menepuk-nepuk dada kirinya, "Pantes rada aneh rasanya, gue mau muntah nih." Alena berakting seolah ia ingin muntah.

Ares mendatarkan ekspresinya lalu menyentil dahi Alena. Alena menatapnya datar, "Mau ngerasain jambakan gue lagi kah?" gadis itu menaikkan sebelah alisnya.

"Sakit aja belagu."

"Suka-suka gue dong."

Alena melipat tangannya dibawah dada lalu mengalihkan pandangannya ke berita di televisi yang menayangkan tentang kedua orang tuanya.

"Gue jijik, " ucap Alena, ia menatap kedua orang tuanya yang menebar keharmonisan dan senyum yang palsu, "Jijik dengan kehidupan gue yang di kelilingi manusia palsu." sambungnya lagi.

"Dengan keluarga kecil saya ini saya sangat bahagia." ungkap Jaya dengan senyumannya, lelaki paruh baya tersebut merangkul Setya dan Fikri.

"Tapi gue gak pernah bahagia."

"Bukannya Bapak mempunya anak perempuan? Dimana dia?" masih dengan senyuman palsu yang mengembang Jaya menjawab, "Dia anak yang pembangkang, selalu melawan saya. Tapi saya tidak akan pernah melepas tanggung jawab saya kepadanya, saya akan tetap menyayanginya setulus hati saya."

"Termasuk golongan mana kata 'sayang' itu Pa?" ucap Alena pedih, ia menyeka air matanya yang keluar tanpa persetujuannya.

Ares mematikan tv tersebut lalu membawa Alena ke pelukannya. Alena merasa sangat tenang, "Bersabarlah, Alena." gue bakal bantuin lo.

"Kurang sabar apalagi gue?" air mata kembali meluruh, ia tertekan. Sangat tertekan.

"Alena!" seseorang melepas pelukan mereka lalu menatap mereka berdua dengan tajam, "Ngapain lo berdua?!"

Alena terkejut, ia menyeka air matanya lalu menatap orang itu tak kalah tajam, "Ngapain lo disini?!" ia mencengkram sisi brankar dengan kuat.

"Aku khawatir sama kamu Alena." orang itu-lebih tepatnya Fikri hendak mengelus rambut Alena namun gadis itu menepisnya dan menatap Ares tajam, "Lo yang ngasih tau orang ini gue disini?!" tuduhnya.

Ares mengangguk, "Ck, bodoh. Gue gak pernah minta lo ngasih tau orang ini!" seru Alena frustasi, ia mengepalkan tangannya kesal.

"Pulang yuk, Len. Nanti Papa dan Mama khawatir." bujuk Fikri, sementara Alena kini tertawa hambar, "Yakali mereka khawatir sama gue."

"Len mending lo pulang aja." Ares kini membuka suara, ia memegang bahu Alena dengan tatapan teduh miliknya, kini Alena hanya diam.

Merasa risih, Fikri menyingkirkan tangan Ares lalu menarik Alena dengan lembut agar Adiknya itu terduduk, segera membawa Alena keluar tanpa permisi.

I'm brOKenHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin