Bab 26

751 70 0
                                    

"Kau tidak apa-apa?"

Athala menggeleng pelan. Darah merah yang mengaliri telapak tangannya yang terluka karena terlalu lama memegang pedang.

"Kau bisa beristirahat sebentar," sahut suara Attila di dalam pikiran gadis itu terdengar khawatir.

"Tidak," jawab Athala. "Aku tidak bisa istirahat, sementara mereka sedang berjuang melawan makhluk-makhluk itu." gadis bersurai cokelat tersebut menatap ratusan dexter yang berlari mendekatinya dari kejauhan. Mengangkat senjatanya ke bahu, gadis setinggi 175 cm itu mengangkat sebelah tangannya dan sebuah bola biru berisi kekuatannya tercipta.

Gadis itu melempar bola kekuatannya, hingga terciptalah sebuah ledakan besar yang menewaskan para dexter tersebut. Kini lapangan itu sudah bersih dari monster dunia bawah. Namun, serangannya tadi berdampak pada tubuh Athala yang belum sepenuhnya bangkit. Gadis itu terjatuh berlutut dengan satu kaki. Pedang berbilah tebalnya ia gunakan sebagai tumpuan.

"Athala!"

"Athala!" teriak dua perempuan yang hidup di kepalanya.

"Sedikit lagi .... Sedikit lagi aku akan membersihkan wilayah ini dari monster-monster itu, lalu kembali untuk membantu Linus dan Gabriel," bisik gadis itu mencoba menyemangati dirinya sendiri.

"Jangan memaksakan dirimu, sayang. Kau masih belum bangkit sepenuhnya. Beristirahatlah sebentar," ucap Imanuella memohon. Gadis bersurai perak panjang itu terlihat menitikkan airmatanya melihat keadaan gadis manusia yang menjadi titisannya.

Tidak berbeda jauh dengan Attila yang juga menangis. Gadis itu menutup mulutnya agar tidak membuat suara yang akan mengganggu konsentrasi dari refleksi jiwanya. Setengah badannya ikut sakit, karena jiwa Athala terbentuk dari sebagian jiwa miliknya. "Bertahanlah, Athala."

Napas gadis berambut cokelat itu terengah. Keringat dan darah menetes dari kulitnya. Pandangannya memburam, juga kepalanya yang semakin terasa berat. "Aku ... tidak apa-apa," bisiknya. "Aku tidak apa-apa." gadis itu mengulang kata-katanya seolah menjadi mantera pengurang rasa sakit.

Tidak sampai satu menit hingga tubuh kecil itu ambruk ke depan. Dua gadis yang hidup di kepala perempuan berzirah itu berseru memanggil nama Athala.

"Imanuella, bagaimana ini?" Attila menangis sesenggukan mengamati luka-luka parah dari tubuh manusia itu. Semakin besar kekuatan yang gadis itu keluarkan, maka semakin berkurang kekuatannya untuk menyembuhkan. Hingga kini gadis itu tidak dapat lagi menyembuhkan lukanya.

Imanuella menangkupkan tangannya ke depan dada. Memejamkan matanya dengan airmata yang terus mengalir. "Kumohon datanglah, kalian. Datanglah.... Kumohon," bisik gadis itu terus.

Jiwa dua perempuan yang berada di dekat tubuh Athala yang tergeletak tiba-tiba bercahaya, bersamaan dengan enam cahaya menyilaukan muncul dari arah yang berbeda.

Imanuella membuka matanya terkejut saat merasakan refleksi enam kekuatan yang ia kenali.

"Mereka ... mendengarnya? Mereka datang!" girang gadis itu.

Baik Attila maupun Imanuellan mengedarkan pandangan di sekitar enam pusat cahaya itu. Tiba-tiba enam orang muncul dalam keadaan berlutut pada gadis-gadis itu.

Salah seorang dari mereka yang berdiri paling depan, mendongakkan wajahnya. Airmata mengalir dari manik merah pemuda bersurai perak sebahu tersebut. "Anda memanggil kami, dewi?" ucap Michael serak. Bersamaan dengan suaranya, lima orang lain juga turut mengangkat pandangannya.

Tiga laki-laki dan tiga perempuan ; Michael, Uriel, Azrael, Raphael, Raguel, dan Serafhim.

"Terimakasih telah memanggil kami sekali lagi." enam suara berbeda mereka terdengar tegas namun penuh haru.

***

Dua pasang netra berbeda warna itu masih menatapi Flaine yang tetap memeluk erat abu milik Felix.

Gumaman gadis yang terus menyebut nama adiknya terdengar pilu, namun kedua sosok pemuda yang berdiri tak jauh darinya tetap menatap datar.

"Kurasa kita harus cepat pergi dari sini. Kita harus membantu Athala membersihkan monster-monster yang masih berkeliaran." Gabriel menyisir rambutnya dengan jari ke belakang.

Anggukan tanda setuju Linus tunjukkan. Kini pemuda itu teringat tentang Athala yang--- tunggu, bukannya Athala masih belum sadarkan diri?! Linus menoleh cepat pada pemuda di sampingnya. "Hei! Apa maksudmu dengan 'membantu Athala'?!" serunya.

Gabriel mengedipkan matanya beberapa kali karena terkejut, lalu ia terkekeh. "Ahaha. Aku ingat kau belum tahu hal ini." jedanya sembari tertawa. "Athala sudah bangun. Kini dia sudah bisa membangkitkan kekuatannya dan membantu melawan pasukan monster yang sudah menyebar," ucap pemuda bersurai perak itu.

Netra hitam itu terbelalak tak percaya. "Kau bohong pasti." wajah terkejutnya perlahan berganti hangat. Tanpa Gabriel menjawab, Linus sudah tahu apa jawabannya. Pemuda archangel itu tidak berbohong tentang bangunnya Athala. Senyum hangat terukir di wajahnya. "Syukurlah, kau berhasil, Athala."

Linus menoleh saat merasakan tepukan pada bahunya. "Tunda dulu rasa senangmu. Sekarang musuh yang sebenarnya sudah datang," bisik Gabriel menatap datar ke depan. Linus mengikuti arah pandang seseorang yang entah sejak kapan sudah menjadi partnernya.

Kilatan guntur datang bersamaan dengan badai awan hitam yang memutar membentuk spiral di langit. Azazel melangkah di langit tanpa sayap, seolah tidak terganggu dengan desauan angin yang tercipta setelah kemunculannya.

Tersenyum manis, Azazel menatap remeh dua makhluk yang entah sejak kapan sudah bersekongkol. "Lama tidak berjumpa, Anakku," sapa laki-laki itu pada Linus, lalu beralih menatap si pemilik netra merah yang hanya membalas tatapan dengan datar. "Apa aku juga harus memanggilmu anakku? Bagaimanapun kau juga diciptakan oleh saudariku." Azazel tersenyum.

Gabriel memutar matanya jengah. "Jangan bercanda. Kau terlalu menjijikan untuk ukuran seorang lalim," sahut pemuda itu.

Awalnya pria penguasa dunia bawah tersebut terdiam, sebelum akhirnya tawanya membahana di angkasa. Flaime yang baru sadar kalau tuannya sudah muncul lun ikut mendongak.

"Kau sama naifnya dengan Imanuella," ujar Azazel membuat Gabriel menggertakkan giginya.

"Jangan sebut nama dewiku dengan mulut kotormu!" serunya.

"Tuan!"

Perhatian ketiga laki-laki yang tengah berdebat kecil itu teralih menatap Flaine yang masih dalam posisinya.

"Tuan Azazel, tolong hidupkan lagi adikku. Kumohon..., aku tidak mempunyai siapapun selain dia. Kumo---"

Jrash

Sulur hitam seperti bayangan tiba-tiba muncul dari tanah dan membelah tubuh gadis bersurai hijau lumut itu seketika.

"Aku tidak terlalu suka kebisingan," ujar Azazel saat terjadi aksi saling menatap dengan mantan fallen angel bernama Flaine tersebut.

"Tu ... an ...." tubuh Flaine perlahan menjadi abu dan tersapu angin secepat kilat.

Mengalihkan pandangan. Kini netra hitam bening itu menatap dua insan yang berdiri membeku menatapi perbuatannya tadi.

"Nah, putraku dan archangel, bisakab kita mulai pertarungannya?" pdia berambut hitam mangkuk itu tersenyum msnyeringai menampakkan deretan gigi runcingnya.

***

The Guardian Angel #ODOCThewwg [✓]Where stories live. Discover now