Kamu Bahkan Tidak Bisa Menghapus Memori Itu

4.6K 331 4
                                    

Malam minggu yang akan Ian dan Dimas lalui sama seperti malam Minggu para kawula muda kebanyakan. Pergi makan malam, nonton film terbaru atau sekedar berjalan-jalan mengeliling pusat perbelanjaan tanpa tahu tujuan.

Dan malam ini Ian dan Dimas tengah menyantap makan malam mereka di salah satu restoran ternama di bilangan Jakarta Pusat.

Ian yang sedang khusyuk menikmati makanannya harus terdistraksi dengan kegelisahan Dimas yang tampak sesekali melirik ponselnya yang terus menerus berdering tanda ada panggilan masuk.

"Kenapa tidak diangkat?" tanya Ian akhirnya sembari membersihkan bibirnya dengan napkin.

"Ngh?" Dimas tersentak dengan pertanyaan tiba-tiba Ian. Dimas menggelengkan kepalanya namun tersenyum, "telepon dari klien, weekend no client, no pekerjaan." tukas Dimas.

Ian tersenyum simpul dan kembali menikmati makan malamnya begitu juga dengan Dimas. Namun, kurang dari 10 menit ponsel Dimas kembali berdering dan kali ini deringan tersebut tak berhenti-henti. Dimas melirik Ian sejenak sebelum ia berniat untuk mereject telepon tersebut.

"Angkat saja, Dim, mungkin penting,"

"Sebentar ya," akhirnya Dimas mengangkat telepon tersebut tapi lelaki itu malah bangkit dari duduknya dan menjauh dari Ian. Ian sempat merasa curiga karena tak pernah-pernahnya Dimas mengangkat telepon mau sepenting apapun harus melipir dulu menjauh darinya.

Di tempatnya, Ian menatap Dimas yang sedang berbincang dengan lawan bicaranya. Sesekali tampak Dimas mengurut pelipisnya diiringi dengan desahan nafas berat. Ian semakin penasaran siapa yang menghubungi Dimas, apakah ada suatu masalah?

Semasa kemudian Dimas sudah kembali ke meja mereka dengan ekspresi yang sulit diartikan.

"Ada masalah?" tanya Ian yang tidak menutupi rasa penasarannya.

"Hanya beberapa masalah kecil saja," jawab Dimas kemudian ia menandaskan segelas air putih di dekatnya. Ian yang mendapati sebuah jawaban kurang memuaskan dari Dimas menatap lelaki di depannya ini dengan seksama.

"Kenapa?" tanya Dimas lugu.

"Kamu tidak lagi bohongin aku, kan, Dim?" Ian memicingkan matanya sehingga membuat Dimas sedikit salah tingkah.

"Ya ampun sayang, masa aku bohong sama kamu. Buat apa aku bohong,toh, tidak ada untungnya?" Dimas meraih tangan Ian yang berada di atas meja lalu membawanya ke depan bibirnya setelah itu ia kecup ringan punggung tangan Ian.

Dimas ini memang lelaki yang paling pandai menyenangi hati wanitanya. Ia selalu memperlakukan Ian selayakanya wanita yang sangat berharga dan sejauh ini tak pernah sedikitpun mereka bertengkar besar. Paling hanya pertengkaran kecil yang karena masalah sepele dan hal itu dirasa-rasa cukup maklum mengingat hubungan mereka masih seumur jagung.

Dimas juga bukanlah tipe lelaki yang menuntut, posesif ataupun pencemburu. Ya, meskipun terkadang Dimas bisa tiba-tiba mendadak cemburu berat jika sudah menyangkut Angkasa karena baginya Angkasa adalah ancaman yang harus dibinasakan.

"Mau nonton apa?" tanya Ian ketika keduanya sudah selesai makan malam.

"Yan, kayanya hari ini kita tidak bisa nonton, deh," sesal Dimas pada Ian karena harus membatalkan janji mereka. Ian sih tidak masalah sama sekali tapi lagi-lagi hal ini bukan Dimas 'banget' yang bisa tiba-tiba membatalkan janji mereka sebelah pihak. Terkecuali jika ada urusan mendadak yang berhubungan dengan adiknya mengingat Dimas hanya tinggal berdua dengan adiknya di Jakarta sedangkan ibu Dimas tinggal di Bandung bersama kakak tertua Dimas yang sudah menikah dan mempunyai anak itu.

Ian menatap Dimas bingung, "seriously, Dim, kamu lagi tidak ada masalah,kan?" tanya Ian yang kali ini benar-benar merasa khawatir.

"Tidak, Yan, tapi ternyata Mbak Anita mendesak aku untuk segera menuntaskan pekerjaan mengenai instalasi panggung resital penyanyi klasik itu. Kamu inget,kan?" Dimas beralasan berusaha meyakinkan Ian kalau ia baik-baik saja dan tidak ada hal apapun yang terjadi.

Fat Love (COMPLETED)Where stories live. Discover now