We Used To..

4.3K 335 0
                                    

"Kamu lagi sakit?" tanya Dona ketika melihat wajah Ian yang pucat ditambah lagi beberapa hari belakangan ini Ian lebih banyak diam.

"Ngh?" Ian yang memang juga merasa kalau kondisi tubuhnya tidak sedang dalam kondisi prima hanya bergumam tak jelas seraya bersiap-siap untuk pergi ke kantor.

"Kerja jangan ngoyo banget, Yan, kamu perlu lho sesekali ambil cuti," kata Dona yang kini sudah duduk di sebelah anak gadisnya itu. Ian hanya tersenyum singkat.

"Selagi masih muda tidak apa-apa kali, Ma, kerja keras biar tuanya bisa liburan terus," sanggah Ian yang membuat Dona mendengus.

"Mama setuju dengan kata-kata kamu tapi tidak ada salahnya juga kamu melakukan me time,"

Dona yang memang sangat memperhatikan situasi dan kondisi Ian membuat hatinya nyeri. Beberapa waktu lalu Ian memang sempat cerita kalau hubungannya dengan Dimas harus kandas tapi Dona tidak tahu pasti apa yang membuat mereka harus putus karena Dona tidak ingin membuat Ian tambah patah hati alhasil ia lebih memilih bungkam saja dengan keinginan tahunya yang sebenarnya sangat menggunung.

"Aku pergi dulu, ya, Ma," pamit Ian sambil menyalami Dona dan menciumi pipi kanan dan kiri ibunya itu.

"Kamu cuti ya," pinta Dona lagi yang hanya dijawab senyuman dikulum dari Ian. Lalu, setelah itu Ian berlalu menuju Paras Ayu.

Sepenjang perjalanan menggunakan taksi Ian beberapa kali menekan-nekan area ulu hatinya. Ia merasakan ngilu, bukan ngilu seperti sewaktu ia pingsan karena asam lambungnya kambuh. Nyeri kali ini beda dan membuatnya terasa tak nyaman.

"Sakit, Neng?" tanya sang supir taksi yang tak sengaja melihat wajah pucat pasi Ian dari balik kaca spion. Ian tersentak namun ia hanya bisa meringis.

"Lembur terus, ya?" tanya supir taksi tersebut lagi.

"Tidak juga, Pak," jawab Ian sekenanya namun tetap sopan.

"Anak saya juga kerja lembur terus, sampe-sampe saya komplen ke bosnya supaya jangan dikasih lembur," kata supir taksi sambil tertawa.

"Memang anak bapak kerja di mana?" tanya Ian yang penasaran.

"Pabrik garmen. Perempuan, mungkin sebaya si Neng, bulan depan dia menikah, rasanya belum rela ngeliat dia nikah," supir taksi tersebut mendadak curhat yang membuat Ian tersenyum.

"Saya cuma berduaan sama dia semenjak ibunya meninggal akibat komplikasi," imbuh bapak itu lagi yang membuat Ian tercekat.

"Kalau anak bapak menikah berarti bapak nambah satu anak lagi dong, anak laki-laki," ujar Ian.

"Harusnya sih begitu tapi setelah nikah anak saya mau diboyong sama suaminya ke Medan," tersirat nada sedih dari bapak supir taksi tersebut yang membuat Ian menjadi merasa tak enak. Pikirannya langsung teringat kepada ayahnya. Apakah Harris juga sama sedihnya dengan bapak ini jika anak-anaknya menikah?

Tak lama kemudian Ian sampai di kantor.

"Banyak bener, Neng, lebihnya?" tanya bapak supir taksi yang terkejut melihat tips dari Ian.

"Buat Bapak simpen," balas Ian sambil tersenyum.

"Alhamdulillah, terima kasih banyak ya, Neng!" ujar bapak itu terharu.

Ian berjalan melewati lobi yang sudah ramai akan para karyawan menuju lift.

"Yan?" panggil Reza yang tak sengaja berpapasan dengan Ian.

"Hei, Reza," Ian menyapa balik Reza.

"Sudah tahu tentang Angkasa?" tanya Reza tanpa basa-basi yang membuat seutas senyum getir terbit di wajah Ian. Ian menganggukan kepalanya.

Fat Love (COMPLETED)Where stories live. Discover now