08. Teror

1.3K 80 2
                                    

Hari sudah pagi. Adi mematikan alarm, membereskan tempat tidur, kemudian bersiap-siap pergi sekolah. Saat beres-beres, Kayla masuk kamar dan menyapanya.

"Selamat pagi, Kak Adi!" sapa Kayla penuh kehangatan dengan senyum terukir indah di wajahnya.

"Pagi juga, Kayla," sambut Adi semringah.

"Kakak mau pergi lagi?"

"Iya, setiap hari aku harus bangun pagi dan berangkat sekolah."

"Aku boleh ikut?"

"Ngapain ikut? Mending Kayla main aja di gudang. Di sana kan banyak mainan."

"Enggak boleh, ya? Aku pengen ikut, Kak. Di sini sepi. Kayla enggak punya temen main."

"Lain kali aku temenin main. Sekarang kamu tetap di rumah, ya?"

"Ayo, Kak! Aku pengen ikut." Kayla terus memohon dengan menarik-narik bajunya.

"Hmm... tapi kamu jangan nakal, ya?" Adi memperbolehkannya ikut asal tidak nakal.

"Aku janji!"

Untuk kali ini, apakah aku bisa mempercayai janji si kecil ini? batin Adi.

Adi tidak mau berpikir panjang. Lagipula kemarin Kayla tidak memporak-porandakan rumahnya, apalagi membuat mainan berserakan. Adi mengiyakan saja. Ia pergi mandi setelah kamar selesai dibereskan.

Saat sedang mandi, ia mendengar suara klakson dari luar. Adi tahu itu pasti Fahri.
"Buka pintu, Di!"

"Sebentar! Gue lagi mandi!" Adi terpaksa berteriak dari kamar mandi. Harap-harap Fahri dengar.

KRIET...

Adi mendengar suara pintu dibuka, padahal ia yakin sejak tadi pintu rumah sudah tertutup rapat. Terdengar langkah kaki Fahri yang berhasil masuk ke dalam.

"Lo masih mandi? Kok pintunya enggak dikunci?"

Adi segera mengeringkan badan, lalu keluar dari kamar mandi. Ia lalu ke depan untuk melihat apakah pintu benar-benar terbuka seperti yang ia dengar dari kamar mandi.

"Loh, kok pintunya kebuka?"

"Harusnya gue yang nanya begitu. Kenapa pintu enggak lo kunci? Lo enggak tau daerah sini rawan maling?" tanya Fahri.

Adi bingung, sehingga tercetak lipatan-lipatan di dahinya. Ia benar-benar tidak tahu mengapa pintunya bisa terbuka. Fahri dibiarkan menunggu di ruang tamu, sementara Adi ke kamar. Ia pun menemukan kunci rumah tergeletak di meja belajar. Baju seragam dipasang, lalu dicarinya Kayla di gudang. Adi yakin ini semua ulahnya. Kayla-lah yang membuka pintu rumah.

"Ini pasti kerjaan kamu, 'kan? Kamu yang bukain pintu?"

"Maaf, Kak," jawab Kayla terisak.

"Enggak ada yang boleh bukain pintu selain aku, oke? Kalau di depan itu maling emang kamu mau buka juga?"

Adi berniat menasehati, namun bocah itu menangis. Kayla pikir dirinya telah melakukan kesalahan. Memang jelas salah, karena ia membuat Adi panik melihat pintu terbuka.

"Udah, jangan nangis. Katanya mau ikut sama aku. Kamu mau tinggal?"

"Mau ikut, Kak!"

"Udah, berhenti nangisnya."

Walau terlihat sedih, jiwa yang sudah mati tidak dapat mengeluarkan air mata. Iba melihat wajahnya, Adi urung memarahi dan memperbolehkannya ikut ke sekolah.

Tiba-tiba Fahri menyentuh pundaknya. "Lo ngomong sama siapa?"

"Sama Kayla, eh–" Adi keceplosan. Secara tidak sengaja, ia menyebut nama Kayla di depan Fahri.

"Kayla?" Fahri jelas-jelas tidak tahu, karena ia tidak punya mata batin.

"Bukan siapa-siapa, kok. Yuk berangkat!"

Mereka keluar dari rumah dan Kayla dibiarkan ikut. Adi melarangnya duduk di punggung karena tubuhnya bisa pegal. Lantas, bocah itu ia suruh duduk di depan.

"Kok motornya berat, ya?"

"Perasaan lo aja kali!"

Adi berpura-pura membantah, padahal yang Fahri rasakan benar-benar nyata. Kayla menambah beban motor yang mereka tumpangi.

"Lo akhir-akhir ini sering makan banyak, ya? Kok berat?"

"Padahal badan gue gini-gini aja," tangkis Adi yang menganggap tubuhnya langsing.

"Bodo, ah. Mari berangkat!"

Walau merasa aneh, Fahri tetap mengendarai motornya. Memang tidak lazim membawa sosok tak kasatmata ke sekolah.

~OoO~

Ketika di sekolah, Kayla berlari kegirangan melihat orang berlalu-lalang. "Jangan ke mana-mana, Kayla!"

Kayla berhenti berlari dan menggenggam tangan Adi. Sadar dipandang aneh oleh Fahri, Adi mengalihkan perhatian sambil bersiul. Setibanya di kelas, ia disambut Bayu dan Niken. Mereka senang melihat bocah yang ia bawa.

"Namanya siapa, Di?" tanya Bayu.

"Kayla"

"Oh."

"Jangan nakal ya, main di sekitar sini aja," titah Adi.

Adi menaruh tasnya di atas meja dan membiarkan Kayla bermain. Ia heran melihat Niken yang tampak lesu hari ini. "Lu kenapa, Ken?"

"Nggak tau, badan gue capek banget," keluhnya sambil merenggangkan otot.

"Kemarin, pas kita makan di kantin itu, kita sama-sama liat sosok itu, 'kan? Dia siapa, ya?" tanya Bayu ke Adi.

"Hmm... kemungkinan itu cewek yang bunuh diri di sekolah ini," terka Adi.

"Energi sosok itu sangat negatif dan sepertinya dia memberikan rasa sakit sama gue. Entah apa tujuannya, hari ini gue ngerasa sedih banget," tutur Niken perihal rasa sakitnya.

"Semalem dia neror gue. Dia hadir di mimpi gue berulang kali," lanjutnya.

"Gimana kalau kita cari tau siapa cewek ini sebenarnya?" usul Bayu.

"Buat apa?" tanya Adi.

"Biar kita tau apa yang dia inginkan," jawab Bayu.

"Mungkin kita bisa coba buka komunikasi sama sosok itu. Kita tanyain apa yang dia mau," kata Niken.

"Tapi jangan sekarang, Ken. Lo enggak fit hari ini," ucap Bayu.

"Iya, gue tau."

Tiba-tiba lampu kelas berkedip-kedip. Anak-anak lalu tertuju ke tempat duduk Adi. Tampak Kayla sedang membolak-balik buku, kemudian mencoretnya dengan pulpen. Pemandangan semakin menyeramkan tatkala Kayla membawa buku itu. Dalam penglihatan orang normal, buku itu melayang!

Kayla menggoyangkan kursi, kemudian menjatuhkannya. Semua orang jadi takut karena perbuatannya. Adi lalu bicara pada Kayla dalam hati; memintanya menghentikan semua ini.

"Aku udah bilang jangan nakal. Mereka jadi takut, 'kan?"

Kayla meminta maaf dan keadaan kembali seperti semula.

Selagi bel belum berbunyi, Adi mengajak Bayu dan Niken jalan-jalan sebentar. Sosok yang mereka lihat kemarin ternyata tak hanya sekali menampakkan diri. Murid-murid yang berjalan di sana juga dibuat takut olehnya; dengan menampakkan tubuhnya jatuh dari lantai dua.

"Kita harus apa?" tanya Bayu.

"Enggak ada cara lain. Cewek itu bikin resah anak-anak. Kita harus hentiin dia," jawab Niken.

"Caranya?" tanya Adi.

"Pokoknya malem-malem kita ke sini, kita tanyain apa maunya!"

Adi dan Bayu terkejut. Mereka pikir Niken terlalu nekat mengunjungi sekolah di malam hari.

"Lo enggak bercanda, 'kan? Nanti kalau kita buka komunikasi, sosok lain pada ikutan," ucap Bayu resah.

"Kita bisa handle yang lain dan cukup fokus sama sosok ini. Kita bantu dia pergi," ucapnya bersungguh-sungguh.

MATA KETIGA [TAMAT]Where stories live. Discover now