23. Kunjungan Noni Belanda

851 51 0
                                    

Hari yang ditunggu telah tiba. Keinginan Niken untuk makan bakso akhirnya terwujud. Kata Fahri, warung Pak Anto adalah tempat paling enak untuk nge-bakso. Saat melihat warung penuh, Niken jadi pesimis. Ia berpikir tidak akan kebagian tempat duduk.

"Kita mau duduk di mana?" tanya Niken.

Adi melihat satu meja yang cuma diisi satu orang. Ada seorang pria berambut gimbal sedang makan bakso di sana.

"Lo yakin? Lihat deh tuh orang, penampilannya menyeramkan begitu," kata Niken ragu.

"Daripada nggak kebagian tempat duduk. Udah deh, mau makan nggak?" kata Adi.

"Ya mau lah!"

Niken manggut-manggut, kemudian mengekor tiga sahabatnya. Melihat perhiasan akiknya yang mencolok, Adi jadi ingat siapa pria itu. Pria misterius yang menyampaikan pesan aneh di depan rumahnya.

"Kamu sudah cari tahu apa yang dia inginkan?" tanya pria itu.

Mereka semua bingung, sebab tidak tahu siapa orang yang diajak bicara. Tatapan si pria pun fokus pada baksonya. Merasa tahu apa yang dimaksud, Adi pun menyahut. "S-sudah, Pak."

"Nama saya Ki Wono. Maaf kalau waktu itu saya menakuti kamu."

"I-iya, Pak," jawab Adi sembari menyambut juluran tangannya.

"Ki Wono ini orang yang "membersihkan" lahan ini. Saat itu saya pernah cerita tentang dia ke kalian berdua. Kalian lupa?" tanya Pak Anto sambil meletakkan tiga mangkok berisi bakso dan satu mie ayam di atas meja.

Adi dan Fahri mengangguk, baru "ngeuh" siapa sosok yang Pak Anto maksud. Adi baru mengerti maksud kunjungan Ki Wono hari itu, pada saat lingkungan tempat tinggalnya dipenuhi korban kecelakaan. Ternyata Ki Wono mengetahui sesuatu tentang "makhluk penagih tumbal" itu. Kedatangan Rinna pun mengantarkannya pada kebenaran yang tidak pernah terungkap. Tentang keberadaan orangtua yang tidak pernah diketahui dan konsekuensi perjanjian masa lalu yang harus ditanggung seorang anak yang tidak tahu apa-apa. Andai masa lalu tidak terungkap, Adi akan hidup sendiri selamanya karena "makhluk penagih tumbal" itu bisa merenggut siapa saja, termasuk orang-orang yang ia sayang.

Selesai makan, Ki Wono beranjak dari warung. Melihatnya pergi, Fahri tiba-tiba menyusul.

Bayu pun mencurigai mereka. "Lagi bisik-bisik apa coba tuh?"

"Entah. Fahri ini orangnya nggak ketebak. Kemarin-kemarin nggak percaya hantu, eh tiba-tiba main Ouija. Hari ini dia juga aneh. Tiba-tiba ngobrol sama paranormal."

Adi yang tidak peduli hanya fokus menyantap mi-nya. Masing-masing dari mereka sudah selesai makan. Tidak ingin beranjak begitu saja, mereka memesan teh dan mengobrol.

"Di, sebenarnya apa yang lo lakuin di alam gaib sampai telat keluar portal?" tanya Niken.

"Iya, gue penasaran," timbrung Bayu.

Adi mengembuskan napas berat. "Gue ketemu orangtua gue."

"Serius?" Niken memastikan.

"Gue dengar suara bayi. Suaranya persis seperti yang gue dengar saat gue mengalami koma. Dalam mimpi gue melihat laki-laki dan perempuan. Pertama kali ketemu mereka, gue nggak bisa lihat dengan jelas karena tertutup kabut."

"Terus sekarang gimana? Apa mukanya sudah kelihatan jelas?" timbrung Fahri pula.

"Sudah nggak berbentuk, Ri. Mereka disiksa makhluk yang dulu terikat perjanjian sama mereka."

"Seandainya lo tahu, sewaktu portal masih terbuka energi gue hampir habis. Tahu kenapa? Gue nyium bau gosong. Residual energi di lahan ini mengingatkan gue sama aroma gosong yang gue cium. Sangat menyengat."

"Memang di sini lokasinya, Niken. Peristiwa terbakarnya pabrik roti milik orangtua gue. Yang ironis adalah kematian para karyawan itu nggak cuma disebabkan si jago merah, tapi juga bagian dari tumbal," ucap Adi berbisik.

Niken syok mendengar fakta baru itu. "Ini beneran? Gue nggak pernah menduga hal ini, loh."

"Begitulah kenyataannya. Ngomong-ngomong tentang bau gosong, lo bener. Semua korban yang mati terpanggang itu menghampiri gue. Mereka nggak terima sama kematian mereka yang mendadak."

"Gue harap lo nggak diteror sama mereka. Sumpah, gue kesel denger kasus lo. Yang ngebuat perjanjian kan orangtua lo, tapi lo kena imbasnya juga."

"Mau gimana lagi?"

Setelah selesai makan, mereka pulang ke rumah masing-masing. Malam ini Adi sedikit sibuk, sebab besok ia harus pindah ke kost-an. Sebenarnya tidak masalah jika Adi tetap tinggal tanpa harus repot-repot pindah. Ia tinggal minta bantuan seseorang untuk menetralisir energi tidak baik di rumahnya. Adi memilih pindah karena trauma dengan peristiwa meninggalnya orang-orang dalam lingkungan yang ia tinggali. Adi berencana menjual rumahnya. Jika kelak sudah dapat uang, uang itu diniatkan untuk mengganti kerugian para korban yang dahulu mati terbakar. Saat sedang membereskan gudang, Adi teringat Kayla. Mainan dalam kardus tampak tersimpan rapi.

"Mainan ini nggak akan pernah kubuang. Kamu bisa datang kapan aja, Kayla," ucap Adi.

Kardus pun dibawa ke depan dan begitu Adi menoleh ke jendela balkon, ia melihat sosok perempuan berdiri di depan rumah.

"Cathrina?"

Seperti bertemu sahabat lama, Adi menyambut Cathrina dan mengajaknya masuk. Adi mengaku sudah lama tidak melihat perempuan itu. Dalam waktu senggang pun sosok Cathrina sering terlintas dan membuatnya penasaran.

"Bagaimana kamu bisa ke sini?" tanya Adi.

"Aku terhubung melalui kakakmu."

"Oh, si Rinna ya? Kamu pasti kesepian karena nenek sudah tiada."

"Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa sendiri. Begini, kamu punya teman perempuan bukan?"

"Iya, Niken namanya. Ada apa?"

Kejanggalan yang selama ini Adi rasakan membuahkan titik terang. Sekarang ia tahu penyebab Kayla tidak pernah pulang. Saat Niken mempertemukan dua sosok yang terpisah, Cathrina tidak sengaja memperhatikan. Ia juga lihat bagaimana kedua sosok itu terbang menembus langit. Dari pemandangan itu, terbersit harapan dalam hati Cathrina. Ia berpikir mungkin Niken bisa membantunya bertemu Danu.

"Kamu tidak sedih? Anak itu tidak akan pernah kembali lagi."

"Tidak. Justru aku senang dia berhasil bertemu ibunya. Kalau Tuhan mengizinkan, Kayla bisa datang kapan saja. Mainan ini akan selalu ada untuknya."

Cathrina tersenyum, kemudian berbalik badan. "Loh, sudah mau pergi?"

"Iya. Besok aku datang lagi. Ke rumah barumu."

"Ternyata kamu tahu juga, ya. Baik, akan kutunggu."

Setelah tubuhnya menembus jendela, Adi sudah tidak lihat ke mana perempuan Belanda itu pergi. Kemunculan Cathrina yang mendadak ini membuatnya bingung. Kalau benar ia terhubung melalui Rinna, kenapa tidak datang dari jauh-jauh hari?

Lalu Adi teringat satu nama, yaitu Danu.

"Apa mungkin dia ingin dibantu seperti Kayla juga?"

MATA KETIGA [TAMAT]Where stories live. Discover now