09. Penghuni Lantai Dua

1.5K 86 2
                                    

Adi dan Bayu menyarankan Niken ke UKS, namun ia menolak. Ia bersikeras tetap di kelas; mengaku sanggup mengikuti pelajaran. Kepala disandarkan ke dinding; tampak ada sesuatu yang sedang Niken pikirkan. Berhubung Niken sakit, mereka membiarkannya sendiri.

"Kita berangkat ke sekolah ntar malem, oke?" celetuk Niken.

Bayu terkejut mendengar Niken bicara spontan. "Malem ini? Yakin enggak pa-pa?"

"Udah, tenang aja. Kita punya Tuhan. Lagipula kita enggak ada maksud macem-macem. Tujuan kita kan bantu mereka."

"Iya, sih. Eh, Di, catet nomor gue terus kirim alamat lo. Biar kita jemput."

"Oke."

Seperti biasa, Fahri menunggu di tempat parkir. Adi tampak lamban sore itu karena memikirkan sesuatu. Fahri menyuruhnya bergegas karena ia sudah lapar. Ia bilang ingin makan bakso. Dalam perjalanan, motor kembali berat. Fahri yang bingung menggaruk kepala, sementara Adi tertawa melihat Kayla duduk di depan. Ia tidak mungkin memberitahu Fahri kalau anak kecil itu yang membuat motornya berat. Khawatir nanti ia takut.

Mereka sudah tiba di warung makan. Dibandingkan bakso, Adi memilih mi ayam.

"Enggak nge-bakso?" tanya Fahri.

"Gue pesen mi ayam aja," jawabnya.

"Minumnya?"

"Teh es aja," jawab Adi.

Sementara menunggu pesanan, Adi memperhatikan warung makan itu. Dalam benaknya, tergambar percikan api dan jeritan orang minta tolong. Mereka gagal diselamatkan karena dilalap api. Tiba-tiba, Adi merasa panas ketika sosok wanita dengan luka bakar mendekat.

"Kamu akan dapatkan ganjarannya!"

Ia merasa terbakar kala wanita itu menyentuhnya. Fahri heran melihat Adi mengeluh kepanasan. "Kenapa lo?"

"Panas!"

"Panas kenapa? Jangan ngada-ngada, deh."

Kalau dijelaskan, Fahri tidak akan percaya. Adi lantas bungkam dan menyembunyikan rasa sakit akibat disentuh sosok tadi. Tak lama kemudian, makanan yang dipesan datang. Seorang pria paruh baya meletakkan bakso, mi ayam, dan teh di atas meja.

"Silakan dinikmati."

"Makasih, Pak," kata Fahri.

Walau sudah berusaha menyembunyikan rasa sakitnya, Adi masih merasa panas.

"Ada apa, Mas?" tanya pemilik warung.

"Nggak tau, Pak. Dari tadi saya ngerasa panas, terus tiba-tiba tangan saya seperti kebakar," jawab Adi.

Tampaknya si pemilik warung tahu apa yang Adi alami. Setelah rasa sakitnya hilang, Adi segera mencicipi mi ayam yang dipesan.

"Gimana?" tanya pemilik warung.

"Wah, enak banget, Pak!" jawab Adi sambil mengunyah mi-nya.

"Iya, Pak. Enak!" seru Fahri.

Lelaki itu senang dengan pendapat mereka. Ia lantas bergabung, kemudian memperkenalkan diri. "Saya Heryanto. Udah lima tahun kerja di sini."

"Nama saya Adi, dan ini temen saya, Fahri."

Usai berkenalan, Fahri memuji kesuksesan warung yang Pak Anto kelola. Meski begitu, Pak Anto bilang dulu tidak seramai ini. Warungnya pernah sepi karena masyarakat bilang tempatnya berjualan; angker. Orang-orang juga mengeluh saat sedang makan, mereka diganggu sosok tak kasatmata. Tangan mereka dicolek hingga meninggalkan rasa panas. Tetapi setelah tanahnya diratakan, sosok-sosok itu hampir tidak pernah mengganggu lagi.

MATA KETIGA [TAMAT]Where stories live. Discover now