3. Don't Go

243 17 20
                                    

Gue mematut penampilan di depan cermin. Setelah dirasa sudah rapi, gue tersenyum sambil menunjuk cermin di hadapan yang memantulkan seluruh tubuh.

Perfect!

Akhirnya, gue pun bergegas ke luar kamar begitu mendengar panggilan dari Mama untuk sarapan bersama. Sebenarnya gue sangat malas jika sarapan bersama dengan mereka, terlebih jika gue bertemu dengannya, dengan seseorang yang selalu berhasil membuat emosi memuncak sampai ke ubun-ubun, namanya Juna.

Gue punya alasan sendiri kenapa bisa sebenci itu ke dia. Bahkan mungkin dia malah lebih membenci gue daripada gue membenci dia. Gue masih ingat betul bagaimana puncaknya bisa membenci dia.

Iya, di malam itu, di malam gue mendengarkan ucapan dari mulut dia sendiri jika ia akan mengambil Renata dari gue. Nggak! Kalau hanya ingin menjadikan Renata sebagai pacarnya, gue nggak apa-apa. Toh isi hati Natt hanya Natt yang tahu, kan?

Gue marah padanya karena dia sendiri yang mengungkapkan jika dia ingin mengambil kesucian Renata. Lelaki mana yang tak merasa marah jika gadis yang dicintai harus kehilangan kesuciannya sebelum waktunya.

Akhirnya tanpa berpikir panjang, gue langsung menghajar dia dengan brutal, bahkan gue lihat dia tak bisa melawan sedikitpun. Akibat kejadian itu, gue sampai dibenci oleh ayah tiri gue. Padahal ayah tiri gue hanya salah paham. Kalau dia tahu kejadian sebenarnya, gue yakin, dia juga akan ikut menghajar anak kandungnya itu.

Ayah mana yang akan membiarkan anaknya berkata kurang ajar seperti itu, kan? Berkata jika dia akan merenggut kesucian seorang gadis.

Di hari itu juga, gue bersumpah akan menghalangi dia untuk mendekati Renata, dengan cara apapun. Gue tak peduli walaupun gue dibenci oleh semua orang. Gue juga tak peduli walau dengan cara itu Renata tak pernah menaruh hati ke gue, yang penting gadis itu aman, aman dari jangkauan setan yang berkedok sebagai malaikat itu.

“Devin!”

Panggilan Mama seketika membuyarkan lamunan gue. tangan gue yang sedari tadi mengepal menahan amarah ketika mengingat kejadian itu pun perlahan mulai terbuka kembali.

“Iya Ma, bentar!” balas gue tak kalah berteriak menjawab panggilan Mama. Gue akhirnya turun dan melangkah menuju meja makan. Dan gue kini sudah mendapati seluruh anggota keluarga sudah berada di situ.

“Pagi Kak Devin!” sapa April begitu menyadari keberadaan gue.

Gue tersenyum lalu langsung memposisikan duduk di sebelah April.

“Vin, sebelum berangkat ngampus, kamu anterin Mama ke toko kue dulu ya,” pinta Mama.

“Emangnya mau ngapain?”

“Mama mau nge-cek kue ulang tahun punya April. Entar malem kan acaranya.”

“Lo mau ultah?”

Bugh!

Seketika gue langsung mendapat pukulan di bahu oleh seorang gadis yang duduk tepat di sebelah gue.

“Lo lupa sama ulang tahun gue?!” tanya April dengan anarkis.

“Gue bukan lupa, emang gue gak tau,” jawab gue enteng sambil mengendikkan bahu.

Terlihat April mendengus kesal lalu langsung kembali menyantap sarapannya.

“Kamu mau nggak Vin anterin Mama?” tanya Mama.

“Ma—”

“Sama Juna aja Ma,” sela Juna yang otomatis sukses membuat ucapan gue langsung terhenti.

“Emangnya nggak ngerepotin Juna?”

Juna menggeleng. “Nggak Ma. Lagian kalo naik motor jam segini nanti takut kepanasan. Mending naik mobil bareng Juna.”

Devino Xavier ✔Where stories live. Discover now