18. Tentang Perasaan

83 6 0
                                    

“Natt, udah bangun,” seru Joshua.

Gue otomatis langsung menoleh melihat Natt, Sesil dan juga Yuna yang tengah berjalan mendekat. Mata ini sama sekali tak beralih dari memandang Natt yang sekarang tengah duduk di lantai bersebelahan dengan Adin dan Malik.

Bahkan saat gadis itu tengah menyeruput segelas coklat dingin milik Adin pun, mata gue tak menoleh ke arah mana pun sama sekali. Saat ini objek yang benar-benar ada di kepala gue cuma satu.

Renata.

Hanya Renata.

“Itu coklat gue!” seru Adin kesal karena Natt dengan tanpa rasa bersalahnya meminum coklat dingin miliknya.

“Natt! Jangan makan yang dingin-dingin. Lo kan sakit!” celetuk Joshua.

“Fisik gue sehat, hati gue yang sakit!” Natt menjawab lalu langsung kembali meneguk coklat dingin itu dengan sekali tegukan.

Gue hanya diam mendengar jawabannya. Ya, gue tahu. Dia sekarang tengah merasakan sakit hati yang teramat hebat. Makanya gue diam.

“Di mana Ridwan?” tanya Natt lagi.

“Ada. Lagi bantuin Dio sama Ara masak.”

“Yakin bantuin masak?” tanya Yuna sambil memicingkan mata.

“Tenang aja, Ridwan pasti bantuin masak kok. Ridwan gak akan berani kalau sudah mendapat tatapan tajam dari Dio!” celetuk Sesil yang membuat Natt terkekeh pelan.

Tanpa sadar, bibir gue menyunggingkan senyum tipis.

“Natt,” panggil Yuna pada Natt. “Kita semua udah tau tentang masalah lo.”

Terlihat Natt langsung membeku. Beberapa detik kemudian, dia menoleh ke arah gue seolah meminta penjelasan. Semalam dia memang sempat menceritakan masalah keluarganya ke gue. Makanya dia pasti mengira kalau gue malah menceritakannya kembali pada yang lain.

Gue menggeleng pelan karena memang bukan gue yang menceritakan masalahnya pada yang lain.

“Kita tau dari Kak Andrew, Natt,” seru Joshua menjelaskan.

Alhasil Natt malah menatap kita satu persatu.

“Kak Andrew tadi pagi ke sini, dia khawatir banget sama lo,” celetuk Adin. “Dan dia juga terpaksa menceritakannya. Dia pikir, seenggaknya kita harus tau permasalahannya agar kita bisa hibur lo, gitu.”

Gue pikir Natt akan marah. Namun diluar dugaan gue, gadis itu malah tersenyum lalu menatap kami secara bergantian kembali.

“Gue gak marah, lagi pula gue juga berencana bakal ceritain ke kalian. Kalian kan sahabat gue, mana mungkin gue merahasiakan ini sementara kalian juga selalu terbuka ke gue.”

Setelah Natt mengucapkan itu, Malik malah langsung memeluk tubuh Natt yang tepat berada di sampingnya. “Makasih udah anggep gue sahabat. Cuma lo doang soalnya yang anggep gue sahabat lo. Sementara mereka, cuma anggep gue babu mereka doang!” celetuk Malik yang membuat Natt terkekeh.

Natt pun menepuk kepala Malik pelan yang lama kelamaan malah berubah jadi sebuah jitakan yang keras.

Hampir saja gue tertawa melihat tampang Malik yang hendak marah namun ia urungkan ketika melihat ekspresi sangar yang ditunjukkan Natt.

“Apa? Mau marah?” tantang Natt sambil menaikkan dagu. “Awas lo berani sentuh gue lagi!” serunya sambil menunjuk tepat ke arah Malik.

Malik pun langsung bergidik ngeri setelah mendapat tatapan tajam dari Natt. Dia langsung bangkit dan beralih memilih duduk di sofa dekat gue dan Yuna yang membuat yang lainnya hanya tertawa pelan melihat tingkah Malik saat ini.

Devino Xavier ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang