23. Epilog

53 5 0
                                    

6 Bulan yang lalu...








Hari ini hari terakhir masa orientasi siswa di kampus berakhir. Dan gue sama sekali nggak menyangka kalau ternyata satu kampus dengan teman kecil gue. Iya, Adin. Adin itu benar-benar teman nakal gue dari kecil, dan kita sempat hilang kontak gara-gara gue yang pindah rumah. Dan sekarang kita malah bertemu di universitas yang sama.

Takdir benar-benar mengejutkan ternyata.

"Ini sih gila. Gue kira lo di Bandung sama bokap lo. Soalnya terakhir bokap gue pernah bilang gitu kalo bokap lo sekarang tinggal di Bandung."

Gue menggeleng sambil tersenyum. "Nggak. Gue tinggal sama nyokap di sini. Kebetulan nyokap udah nikah lagi juga kan di sini."

Adin hanya mengangguk-angguk merespon ucapan gue. Wajar dia mungkin masih sedikit terkejut mendengar tentang orang tua gue yang sudah bercerai. Lebih tepatnya, gue pindah rumah dulu karena Mama memang sudah resmi berpisah dengan Papa. Dan gue ikut Mama untuk pindah rumah.

Gue melihat seorang gadis tengah berjalan menghampiri keberadaan gue dan Adin. Tepat setelah gadis itu menepuk bahu Adin, gue langsung membeku.

Gue benar-benar kaget setengah mati. Gadis ini gadis yang dulu minjemin payung ke nyokap gue!

Wah, gila! Takdir benar-benar sudah gila!

“Natt. Ngapain di sini?” tanya Adin.

Gadis itu mendengus dan terlihat sebal. “Sialan lo! Gue ke toilet bentar malah ditinggal!”

Adin terkekeh pelan. “Sorry, gue kira tadi lo sama Yuna.”

Dia kembali mendengus lalu terlihat mengedarkan pandangan ke sekeliling sebelum berbicara, “Yuna, Dio, Malik sama Ridwan mana?”

Adin menggeleng, “Gue gak tau.”

Setelah itu dia diam. Dan pandangannya kemudian melirik ke arah gue yang masih berdiri di samping Adin. Jujur sih, gue masih sangat terkejut melihat gadis di hadapan gue ini. Apalagi setelah mendengar suaranya.

Gue masih bisa mengingat dengan jelas ketika gadis itu menangis. Dia menangis seolah dia merasakan kesedihan yang teramat dalam. Dan lihat sekarang, gadis yang dulu terlihat menangis menjadi gadis yang terlihat ceria, dan... Terlihat galak, mungkin.

“Oh ya, Natt. Kenalin,” seru Adin yang akhirnya memperkenalkan gue pada gadis ini. “Dia Devin, temen gue.”

“Temen lo?” tanyanya lagi.

Adin mengangguk, “Iya, Devin temen gue dari kecil.”

Terlihat dia tersenyum tipis. “Gue kira temen baru.”

Gue otomatis langsung menjulurkan tangan berniat untuk berjabat tangan dengannya.

“Gue Devin.”

“Gue Renata, panggil Natt aja.”




Gue udah tau nama lo. Dan gue udah tau lo. Tapi lo yang nggak tau gue.



Dan satu hal yang gue katakan akhirnya langsung membuat gadis itu langsung melotot.

“Lo mau jadi sahabat gue?”

Gue mengatakan itu hanya karena ingin Natt bisa mengingat gue. Coba deh, mana ada orang lain yang ketika pertemuan pertama mereka, dia langsung meminta bersahabat. Nggak ada orang yang kayak gitu. Makanya gue ngelakuin itu. Biar dia terus mengingat gue.

Dan jawabannya sukses membuat gue senang karena dia tak menolak gue.

Dia tersenyum, “Oke, mulai sekarang lo sahabat gue.”

Devino Xavier ✔Where stories live. Discover now