13. Menghilang

57 9 0
                                    

Gue menghirup udara segar pagi hari di kota Bandung. Ya, sekarang gue tengah berada di Bandung, di kota kelahiran Papa. Sebenarnya gue ke Bandung bukan hanya untuk berkunjung ke Papa, tapi untuk menghindar dari Natt juga.

Gue tahu keputusan ini sangat kekanak-kanakan. Tapi apa boleh buat, gue butuh waktu untuk bertemu Natt setelah kejadian semalam. Gue bahkan tak memberitahu siapapun jika sekarang tengah di Bandung. Hanya Mama yang tahu, dan gue suruh Mama untuk merahasiakannya dari siapapun.

Gue tak mau diganggu. Saat ini gue hanya butuh sendiri. Dan mungkin udara segar di kota Bandung ini dapat sedikit menjernihkan pikiran.

Gue langsung meletakan tas ke sembarang tempat begitu memasuki kamar. Gue tak perlu membawa baju ganti karena di sini masih banyak baju gue yang sengaja di taruh jika hendak berkunjung.

"Vin!" panggil Papa dari luar kamar.

"Iya Pa!" balas gue dengan sedikit teriak supaya Papa dapat mendengar.

"Papa pergi dulu bentar, ya! Mau ketemu rekan bisnis! Nanti kalo mau makan delivery aja!" seru Papa dengan teriak juga. Terdengar dari suaranya jika ia tengah terburu-buru.

"Siap Pa!" balas gue lagi.

Setelah itu, gue langsung membaringkan tubuh di atas ranjang.

Ahh, rasanya lelah juga setelah lamanya perjalanan dari Jakarta ke Bandung. Mungkin tubuh gue butuh istirahat sebentar.

Oke, gue harus istirahat.

***

Gue bangun tidur ketika melihat langit dari jendela yang sudah gelap. Sambil meregangkan tangan, gue langsung keluar kamar dan mendapati keadaan rumah masih sepi. Mungkin Papa belum pulang.

Karena merasakan lapar, gue langsung mengeluarkan ponsel yang sempat di taruh di saku sebelum keluar kamar, berniat untuk delivery makanan. Belum sempat jemari ini menyalakan ponsel yang sejak tadi gue matikan, gue mendengar suara pintu terbuka. Otomatis kepala ini langsung menoleh ke arah pintu.

Dan kini terlihat seorang pria paruh baya tengah melangkah ke arah gue dengan tersenyum. Tak lupa tangannya menenteng dua bungkus makanan, sepertinya sebelum pulang dia sempatkan diri untuk membeli makanan itu.

"Baru pulang, Pa?" tanya gue sekedar basa-basi.

Papa mengangguk lalu langsung duduk di kursi sambil menaruh makanan yang dia bawa.

"Wih, apa tuh?" tanya gue lalu langsung melangkah mendekat, tak lupa gue mempertahankan cengiran khas ini.

Papa terkekeh pelan. "Nih cuanki kesukaan kamu. Papa tau kamu kalo disuruh delivery sampe kiamat juga gabakal mau."

Gue pun ikut terkekeh. "Padahal tadi Devin udah mau delivery banget tau. Tapi gak jadi karna lihat Papa pulang bawa ini."

Papa kemudian tersenyum. "Tapi kayanya udah adem deh cuanki-nya. Kalo diangetin lagi enak gak, ya?" terlihat Papa bertanya pada diri sendiri. "Angetin lagi aja deh!" serunya kemudian.

Gue hanya terkekeh pelan melihat tingkah Papa. Akhirnya sambil menunggu Papa yang tengah menghangatkan cuanki, gue hanya memainkan sendok dan garpu yang berada di meja makan.

"Gimana kabar Mama sama Papa kamu?" tanya Papa yang masih sibuk menghangatkan cuanki-nya.

Tadi kami memang belum sempat bercakap-cakap sejak pertama kali gue datang. Yang dimaksud 'Papa' di sini tentu saja ayah tiri gue.

"Semuanya baik," jawab gue seadanya
.
Papa kini melangkah sambil membawa dua mangkuk cuanki yang sudah selesai dihangatkan itu. "Kalau Juna?"

Devino Xavier ✔Where stories live. Discover now