14. That Day

66 7 2
                                    

Tiga tahun yang lalu....

Rajutan langkah terdengar semakin pilu sejak hujan ikut turun seolah menangisi. Ini pertama kalinya, pertama kali seseorang yang sangat ia cintai menyakitinya.

Tubuhnya gemetar menahan lara, sementara batinnya merasakan sesak yang tiada tara.

Mungkin ini adalah akhir dari perjuangannya, perjuangan meluluhkan hati sekeras batu yang tak mungkin dapat mengalir layaknya air.

Ia tak tahu sudah melangkah sejauh mana, tapi yang pasti dirinya kini tengah terduduk di suatu pemberhentian bus.

Tangannya sibuk menyumpal mulut menahan isakan, sementara tangan yang satunya tengah menggenggam sebuah payung yang bahkan tak dapat melindunginya dari rintikan hujan.

Bagaimana payung itu dapat melindunginya dari hujan jika dia enggan untuk membukanya?

Dirinya menatap nanar luka lebam yang menyembul sedikit dari balik rok pendeknya.

Kini sekujur tubuhnya terdapat banyak luka. Luka itu masih sangat terasa perih, tapi masih tetap tak seperih hatinya.

Menangis lagi. Gadis itu kembali menangis lagi. Mengingat kejadian kemarin malam yang membuat dirinya sesedih ini.

Isakannya mendadak kembali berhenti ketika dirinya merasakan perih kembali di sekujur tubuhnya.

Menangis hanya membuat lukanya terasa semakin sakit.

Dia tak pernah menyangka hal ini akan terjadi. Selama ini yang ia tahu orang yang sangat ia cintai hanya diam tatkala melihat wajahnya. Bahkan dia selalu pergi ketika melihatnya. Tapi hari ini, semuanya membuktikan jika orang itu benar-benar membencinya.

Bagaimana mungkin ada seorang ibu yang tega menganiaya anaknya layaknya binatang?

Mungkin ini salahnya. Ya, ini memang salahnya. Salahnya yang selalu menuntut meminta kasih sayang dari ibunya.

Tapi, apakah salah?

Dia hanya bisa menangis melihat ibuya memukul dan mendorongnya hingga kepalanya membentur sudut meja.

Lagi pula, selain menangis dia bisa apa?

Dadanya kembali sesak mengingat itu. Dia berusaha tersenyum mati-matian ketika tadi pagi ayahnya menanyakan keadaannya.

Memang tak ada yang tahu dirinya baru saja mengalami kekerasan fisik. Dia sengaja menyembunyikan itu dari Ayahnya dan kedua kakaknya.

Buru-buru ia menghapus jejak air mata ketika dirinya melihat seorang wanita paruh baya tengah berlari menuju ke arahnya.

Tak ada orang yang boleh melihat kesakitannya. Walaupun orang itu orang lain yang tak ia kenali sama sekali.

Tapi ia terlambat. Pria itu melihat semuanya.

Melihat semua kesakitannya sejak awal.

***

Wanita paruh baya yang berlari terburu-buru menghindari hujan ke arah halte bus itu kini menatap bingung ke arah gadis di sebelahnya. Pasalnya sekarang sudah menunjukkan pukul delapan. Dan gadis dengan seragam SMA ini malah masih berada di sini. Bahkan terlihat tubuhnya yang basah kuyup padahal dia membawa payung.

Apa dia bolos sekolah?

Gadis itu tersenyum ramah tatkala pandangan matanya bertubrukan dengan pandangan wanita paruh baya itu. Sangat terlihat jelas dari matanya jika ia baru saja menangis.

Ahh, mungkin baru putus cinta. Namanya juga remaja zaman sekarang, pikir wanita itu.

"Devin di mana? Kok lama banget sih! Katanya mau jemput Mama?" seru wanita itu ketika baru saja mendapat panggilan dari ponsel-nya. Terlihat dari raut wajahnya jika ia tengah menahan kesal.

Devino Xavier ✔Where stories live. Discover now