Rehat

2K 170 7
                                    

[Dulu hanya draft]

Cerita ini diadaptasi ketika dirimu stuck dengan kehidupan perkuliahan. Mencari pelarian sejenak untuk melupkan sesaat bertapa beratnya kehidupan saat ini. Zaman millenials serta kehidupan bermahasiswanya.

Hari ini kuputuskan untuk rehat medsos sejenak. Smartphone benar-benar off selama beberapa jam serta hanya mengaktifkan media sosial yang hanya dapat di jangkau laptop seperti Youtube atau wattpad. Tidak ada komunikasi tulisan.

Rindu di zaman hanya menerima sms dan telepon.

Kuputuskan duduk di sebuah warung makan langganan dimana terdapat seorang Ibu penjaga yang memang telah akrab. Memakan sepiring mie goreng dengan nasi putih hangat, tak hanya itu segelas teh manis menjadi teman makanku sambil berhadapan makan dengan Ibu penjaga.

Namanya Ibu Sri Tumilah, Ibu penjaga warung makan seorang diri.

"Sudah sepi ya Bu?" tanyaku sewaktu baru datang sambil melihat jalan di dekat kosan yang memang lengang. Biasanya banyak mahasiswa ataupun mahasiswi yang berlalu lalang di jam-jam sore pulang kuliah.

"Iya Mbak, dapetnya ngantuk." sahut Ibu sambil mencuci beberapa panci.

"Ibu sudah tutup kah?" tanyaku lagi, karena akhir-akhir ini beliau memang pulang sore ke rumahnya.

"Nda Mbak, santai. Makan dulu saja." sahutnya melihatku dengan senyuman.

Aku sengaja hanya membawa dompet dan kunci kosan. Sengaja ingin mendengar cerita dari Ibu Sri yang baru-baru ini ku tanyakan namanya.

Sejam hingga dua jam tak terasa. Aku sedikit menanyakan bagaimana masa muda beliau dulu. Beliau menceritakan bagaimana merasakan cinta pertama di zaman bersurat dan telegram, tak mengenal LDR tapi jarak jauh.

"Dulu sewaktu ibu zaman SMA mau ulangan umum toh mbak, Ibu di kasih surat oleh 5 teman Ibu. Ternyata suratnya itu di titipkan sama salah satu teman Ibu. Suratnya semuanya di selipkan dalam buku." Ibu sedikit banyak bercerita.

"Ibu dulu bekerja jadi yang mengajari baby sister atau yang merawat bayi Mbak. Awalnya kursus tapi ditawari sampai ke rumah sakit kerjanya. Cinta pertama Ibu dulu kuliah. Sayangnya 3 bulan rencana kami menikah, dia meninggal gara-gara kanker usus." ada sesal di dalam kalimat Ibu.

"Awalnya surat tadi, sampai Ibu cerita ke Bapaknya Ibu (Ayahnya Ibu). Ternyata si calon cinta pertama Ibu tadi ayahnya temenan sama Bapaknya Ibu."

"Ibu tahu dia meninggal 3 hari sesudah dia di makamkan Mbak." aku mendengarkan sambil makan.

"Pas kami ulang tahun kan di rayakan berbarengan Mbak. Nah dia ngasih Ibu kado."

"Tanggalnya kapan Bu? Ulang tahun Ibu." tanyaku penasaran.

"Ibu 15 Mei, dia 16 Mei. Dia ngasih tas warna cokelat sama kaset lagu yang judulnya PUSARA. Itu isi lagunya pas Mbak sama tempat makam cinta pertama saya. Di bawah pohon kamboja." ucap Ibu yang kulihat dari matanya sebenarnya ingin mengeluarkan air mata, tapi ditahan.

Lalu sedikit banyak Ibu menceritakan bagaimana penyelesaian di zaman dahulu yang ketika seseorang salah sangka langsung duduk berdua menyelesaikan masalah. Tidak seperti zaman sekarang yang membuat orang cenderung salah sangka.

Perbedaan itu tidak di ulur-ulur terlalu lama untuk menyelesaikannya.

Sedikit komunikasi tulisan namun lebih banyak berkomunikasi lisan.

Tanpa gadget, hanya pergi ke kantor pos.

Sudahkah kamu mencoba puasa dari media sosial yang membuatmu candu seperti instagram dan duduk mendengarkan cerita dari sebagian orang?

Cobalah rehat jika kalian sudah terlalu candu, psikologis kalian juga perlu istirahat serta tidak melihat standar pencapaian orang lain.

Sehari sebelumnya juga, aku mencoba untuk meminimalkan media sosial dengan melakukan pelarian atau liburan singkat. Walaupun hanya mengunjungi museum serta duduk bercerita sambil makan, tentunya dengan beberapa topik urgent masa kini seperti HAM, bagaimana anak kecil sekarang, krisis hidup di umur segini, bahkan kegundahan untuk memilih meneruskan kerja berdasar jurusan atau berdasarkan kemauan dan minat.

Kami sadar bahwa semakin umur bertambah, problema hidup juga kadang semakin membingungkan. Walaupun kalian sudah memiliki rencana hidup yang detail, ada kalanya mengambil keputusan mendadak yang tentunya berpengaruh dengan hidup kalian kedepannya.

Temanku bilang, "Disini aku belajar untuk lebih berani mengambil keputusan terserah itu bagaimana hasilnya."

Sementara aku mengatakan, "Aku nggak mau lagi bersikap gegabah seperti dulu. Sekarang jadi belajar untuk memahami situasi serta perbedaan sudut pandang orang-orang."

Mungkin benar kata orang, Hidup merantau dapat menjadi ladang belajarmu lebih banyak.

:)

Catatan Kuliah Bagian 1Where stories live. Discover now