MENGIKUTI

10.4K 499 9
                                    

Pagi itu jalan raya terlihat sepi, mungkin karena sudah bukan jam berangkat kerja lagi. Kio terus melaju menuju tempat yang entah apa namanya. Kio hanya mengikuti arahan Naraya.

"Nanti depan belok kiri ya" tangan Naraya menunjuk ke arah yang dimaksud.

"Oke, Nyonya"

"Sejak kapan lo jadi pembantu gue?"

"Sejak saat ini"

"Ha?"

"Iya, sejak saat ini gue memutuskan untuk jadi pembantu lo. Gue siap membantu segala hal yang ngga bisa lo lakuin sendirian. Misalnya  sebuah pelukan"

"Kok pelukan?"

"Mana bisa lo pelukan tanpa ada lawan? Eh bukan lawan, tapi kawan. Kawan yang siap meredakan resah lo dengan pelukan paling menenangkan. Kawan hidup."

"Tadi pembantu, sekarang kawan. Serah lo deh" sungut Naraya.

"Hahaha senyum dong, Nyonya" Kio tertawa melihat ekspresi jutek Naraya dari kaca spion. "Kapan sampai nih?" lanjut Kio.

"Bentar lagi"

Naraya melirik kaca spion dan mendapati Kio yang diam-diam sedang memperhatikannya.

"Apa lo?" Naraya melotot dan menunjukkan ekspresi abstrak wajahnya kepada Kio. Kio tertawa, tawanya renyah sekali. Seperti krupuk baru selesai digoreng.

*****

"Gue kira, lo ngajakin kemana. Ternyata ke sini. Dulu gue juga pernah ke sini" kata Kio saat memarkirkan motornya. Naraya Turun dari motor dan melepas helm yang kebesaran itu.

"Nyonya Nara, tau tempat ini dari mana?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Nyonya Nara, tau tempat ini dari mana?"

"Gue selalu ke sini tiap kali butuh waktu buat menenangkan diri. Dulu, papah yang pertamakali ngajak gue ke sini" Naraya melihat sekeliling, ada padang rumput yang sangat luas. Di tengahnya ada sebuah pohon besar. Menyejukkan. Tepat sekali untuk bersandar, apalagi untuk Naraya yang masih betah sendiri. Bahu siapa yang bisa dijadikan sandaran?

"Mmmm dulu gue ke sini sih karena sedang cari tempat sunyi buat meratapi nasib. Dan gue menemukan tempat ini" jelas Kio. Pandangannya menyapu padang rumput yang hijau itu.

Naraya menggelengkan kepalanya mendengarkan penjelasan Kio. Meratapi nasib? Apa maksud nih anak. Tapi Naraya diam tak selera mengajukan pertanyaan.

Naraya berjalan mengikuti langkah Kio menuju pohon di tengah-tengah padang rumput itu.

"Eh iya, gue tadi bawa roti. Lo udah sarapan?" Naraya membuka tasnya dan mengambil roti selai kacang yang ia masukkan ke tasnya tadi pagi.

Langkah Kio terhenti. Naraya yang tak menyadarinya tanpa sengaja menabrak punggung Kio.

"Hati-hati Nyonya. Jangan terpesona gitu sama ketampanan gue. Jadi ngga fokus kan" goda Kio.

"Nih.... " Naraya melemparkan roti itu ke arah Kio lalu berjalan cepat melewati Kio. Kio hanya tertawa kecil melihat tingkah Naraya yang lucu.

Tanpa rasa ragu, Naraya duduk di bawah pohon beringin tanpa alas apapun. Kio tersenyum lalu duduk di samping Naraya.

"Terus ini mau ngapain, Nyonya Nara?"

"Gue sih mau menenangkan diri"

"Iya, sekarang tenangin diri lo dulu. Soalnya besok-besok lo ngga bakal bisa tenang lagi"

"Kenapa emang?"

"Karena setiap hari, setiap detik, lo bakal selalu rindu sama gue dan selalu mikirin gue" Kio mengatakannya dengan penuh keyakinan, seolah apa yang dia ucapkan adalah prediksi masa depan yang benar-benar akurat.

Naraya hanya terdiam, ia mengambil handphone  dari tasnya lalu memutar sebuah musik. Naraya tak lagi menghiraukan apa yang dikatakan oleh Kio.

Naraya merebahkan tubuhnya di atas rumput, ia memandangi langit biru bersih yang tampak meneduhkan.

"Katanya kalau kita lagi ada masalah lalu kita melihat langit yang indah kayak gini, masalah kita akan segera hilang" kata Naraya, kedua tangannya ia angkat ke atas seakan ingin menggapai langit.

"Kok bisa? Apa hubungannya langit sama masalah coba?" Kio ikut merebahkan tubuhnya di samping Naraya.

"Lo lihat? Langit biru yang luas itu. Masalah kita ibarat batu kecil di bumi, dan Tuhan telah menyiapkan jalan keluar seluas langit. Gue percaya itu, kalau lo?"

Naraya menatap mata Kio, Kio tersenyum.

"Gue percaya.... Mmm dan gue juga percaya, pasti ada alasan kita tabrakan tadi pagi. Padahal semesta ini luas sekali kan, Nyonya? Tapi semesta memilih kita."

Naraya tersenyum. Naraya memang telah lama tak lagi percaya dengan cinta. Tapi entah kenapa dengan Kio, ia cepat sekali merasa nyaman. Bukankah nyaman adalah awal dari takut kehilangan?

"Ah...  Ini tidak boleh terjadi" batin Naraya.

*****

Naraya dan Kio sedang asik dengan pikiran masing-masing saat tiba-tiba handphone Kio berdering.

"Halo, iya. APA?! Iya iya. Kio kesana sekarang."

Kio terlihat panik setelah mendapat telepon itu. Tanpa penjelasan apapun Kio menarik tangan Naraya. Naraya yang kebingungan hanya bisa mengikuti Kio tanpa berusaha melepaskan genggaman Kio dari tangannya.

Saat sampai di tempat motor Kio terparkir, Kio menatap mata Naraya dalam.

"Nyonya Nara, gue ngga bisa biarin lo pulang sendirian. Nanti gue anterin pulang, tapi sekarang lo ikut gue dulu ya?"

"Iya" Naraya mengangguk. Naraya melihat betapa paniknya Kio saat itu. Tak ada waktu untuk menolak, ia hanya akan mengikuti Kio.

Tuhan ada apa ini? Kenapa cowok yang satu ini jadi terlihat murung. Apa yang terjadi? Semoga segala hal tetap baik-baik saja. Batin Naraya.

Sekarang, giliran Naraya yang harus mengikuti kemana Kio akan menuju. Tanpa ada perlawanan tanpa ada penolakan.

********

Kira-kira apa yang terjadi dengan Kio ya?

Terima kasih sudah membaca cerita ini.

Jangan lupa votes dan komentarnya ya.

Salam sayang.
Kopioppi

#KioNara ( SUDAH TERBIT ) Where stories live. Discover now