[Prolog]

10.8K 609 64
                                    

Happy reading:)

📖📖📖

Angin sore berembus pelan menghantar kesejukan senja, menghentikan sejenak pikiran dari semua beban. Minuman hangat tersaji dengan beberapa camilan ditemani sedikit alunan musik pelan, gadis dengan sweter putih itu menghirup udara senja yang menenangkan perasaan.

Digosokannya pelan kedua telapak tangan kecilnya berharap udara dingin bisa tergantikan menjadi sebuah kehangatan.

Ia menoleh ke jendela yang berada tepat di sampingnya, menyajikan pemandangan kota Bandung di sore hari setelah hujan. Rintik hujan pelan masih dapat terdengar, dihiasi suara burung yang mulai berterbangan.

Tadi ketika ia sampai di stasiun, hujan menyambut dengan deras, menghantam perpijakan berupa tanah dengan keras. Semua penumpang yang baru saja hendak meninggalkan stasiun kereta segera mencari tempat berteduh untuk melindungi diri agar tidak basah kuyup. Gadis itu memilih melangkahkan kakinya ke kafe sederhana ini, menikmati sedikit coklat panas ditemani camilan kesukaannya yang ia bawa sebelum berangkat tadi.

Kini hujan mulai reda, menyisakan rintikan kecil yang masih dapat dikatakan sebagai gerimis, si pemilik sweter putih itu berdiri dan menyandang tasnya, bersiap meninggalkan kafe.

Setelah membayar minumannya, ia berlalu dari meja kasir dan berniat segera pergi mencari kendaraan yang dapat menghantarkannya pulang sebelum hujan kembali menyapa.

Namun, langkahnya melambat tatkala melihat dua orang yang sedang berdebat di meja depan yang letaknya tak jauh dari pintu keluar. Sedikit menguping, ia mendengar beberapa pembicaraan mereka.

"Gak, bukan gitu caranya. Rumus yang kamu pakai salah! Aku yakin bukan itu rumusnya. Kamu ga hapal kan? Sini aku aja." Seorang lelaki mengambil alih buku catatan yang penuh dengan coretan rumus dari tangan wanita yang duduk di hadapannya.

"Hah? Maksud kamu apa? aku bodoh dan hanya kamu yang pintar?" balas cewek didepannya.

"Ya bukan gitu, aku cuma bilang rumus yang kamu pakai itu salah. Karena itu jawabannya gak ada di opsi pilihan ganda."

"Kalau gitu coba kamu yang cari jawabannya."

"Oke," ujarnya merasa tertantang.

Cowok itu mulai menuliskan beberapa angka dan menghitung dengan jemarinya, beberapa saat kemudian ia selesai mengerjakan soal tersebut. Namun, wajahnya terlihat tidak yakin. Alis dan keningnya tampak berkerut, serta wajah dengan raut bingung yang kentara.


"Ayo, mana? Dapat jawabannya?" Perempuan itu merebut bukunya.

"Kok bisa gak balance ya? Padahal kan rumusnya benar!" gumam pria itu pelan namun masih bisa terdengar oleh orang yang duduk di depannya.

Gadis di depannya melirik kesal. "Makanya jangan sok pintar," hardiknya.

"Loh, kamu kenapa sih? Kok malah ngatain?"

"Aku ga ngatain, kamu nya aja yang sok jago! udahlah akui aja otak kita ga jauh beda." Si cewe melipat kedua tangannya.

"Ya jelas bedalah, kamu ranking 10 di kelas, aku dapat juara, tiga kali berturut-turut. Itu artinya kamu lebih bo---"

Dengan tangan yang membekap mulutnya sendiri, cowok itu segera diam ketika mendapatkan ekspresi perempuan di depannya yang tampak kesal.

"Apa? Kenapa berhenti? Aku bodoh? Iya kan? Udahlah, susah pacaran sama orang pintar," ujarnya marah.

"Ga gitu, ma..maaf." Lelaki berusaha menahan agar orang yang tadi duduk didepannya tidak pergi.

"Udahlah, kita putus."

Pertengkaran berakhir dengan si perempuan yang marah meninggalkan sang pacar, lebih tepatnya mantan pacarnya tersebut. Juga perasaan bersalah dari si lelaki yang kini hanya bisa menatap kepergian si cewek begitu saja.

Langkah gadis tadi ia lanjutkan dengan helaan napas pelan serta bibirnya yang tersenyum miring melihat kejadian tersebut.


🎖🥇🥈🥉🎖

-Demi diakui pintar, kau rela kehilangan segalanya. Kau hanya tak tau, bahwa pintar tidak dapat menggantikan kehilangan yang kau hadapi-

🎖🥇🥈🥉🎖


Silau mentari pagi masuk merambat melalui jendela siap menusuk mata. Pelupuk mata pun terbuka pelan diikuti erangan khas seseorang yang baru bangun tidur. Selimut itu ia singkap dari atas tubuhnya, matanya menatap sayu ke arah jendela yang gordennya setengah terbuka.

"Pagi dunia," ucapnya pelan.

Cowok itu bangkit dari tempat tidurnya dan melangkah menuju kamar mandi siap menjalani ritual pagi dan memulai aktifitas. Setelah mandinya selesai, ia turun dari lantai dua menuju meja makan dan bergabung bersama keluarga nya yang telah menunggu disana.

Sarapan dimulai dengan tenang, bahkan hening, sangat hening hingga yang terdengar hanyalah detakan jarum jam yang masih menunjukkan pukul 6 pagi. Setelah makan, satu persatu anggota keluarga pun berlalu untuk melakukan kewajiban masing-masing. Tanpa bicara, hanya ada sang istri yang mencium punggung tangan suami, dan anak-anaknya yang menyalami kedua orang tua.

Pagi di rumah ini sungguh kaku dan sunyi. Bagaikan tidak ada penghuni, ramai namun sepi. Tiga anak tidak cukup membuat suasana rumah berubah, karena orang tua mereka sendiri yang tidak ingin merubah suasana rumah.

Salah satu dari anggota keluarga tersebut bahkan merasa muak berlama lama di rumah yang sepi itu hingga ia memilih berangkat sekolah pukul 6.10 pagi, siapa yang sudah berada disekolah jam segitu? Ia tidak peduli.

📖📖📖


~Menghargai sang peninggal jejak😚

Smart or Genius ✓ Where stories live. Discover now