3.

3K 269 9
                                    

Binaraya High School yang kelewat megah itu tampak dalam suasana hening sekarang. Sekolah elit berkawasan luas itu sedang melaksanakan proses belajar-mengajar. Namun Bulan sendiri terlihat berjalan santai di lorong yang sunyi. Ia baru saja selesai dari toilet dan akan kembali ke kelasnya. Tampak sesekali ia bersenandung kecil untuk dirinya sendiri.

Jika sekarang tidak sedang jam belajar dan koridor sekolah sedang ramai, pasti kini ia sudah mendengar bisikan-bisikan rumpi tentang dirinya. Belum lagi cicitan gombal cowok-cowok receh yang terpesona. Bahkan ada yang berani terang-terangan mengajaknya untuk kencan, namun harus rela ditolak mentah-mentah di depan banyak orang. Bulan tipe cewek yang cuek dengan semua itu. Menganggap itu hal yang tidak perlu di respon secara berlebihan.

Jadi saat dirinya akan melewati koridor yang berhadapan langsung dengan lapangan basket, Bulan memilih jalan lain menuju kelasnya. Pasalnya ia melihat kelas XII B sedang jam olah raga dan ia terlalu malas untuk mendengar gombalan tidak mutu dari cowok-cowok jones kelas itu.

Rasanya sangat tidak masalah jika melewati jalan lain walau pun itu menjadi sedikit jauh. Karena ia harus memutar dan melewati beberapa ruangan, salah satunya ruang musik. Nah, saat melewati ruang itu, Bulan mendengar permainan biola yang sangat menyentuh sukma. Langkahnya melambat, menikmati alunan itu dengan hikmat.

Entah kenapa ia jadi penasaran sekali dengan orang yang memainkan alat musik gesek itu. Siapa gerangan orang yang sangat syahdu memainkan biola itu hingga ia pun di buat terpana walau tanpa melihat langsung. Dengan hati-hati karena tak ingin dicurigai sebagai penguntit, Bulan menengok dari celah jendela. Dan ia di buat diam membatu. Matanya tak berkedip untuk sesaat.

Bintang. Iya, gadis boyish itu berdiri di depan kelas dengan biola di bahu. Tangannya bergerak mahir seiring alunan yang berbunyi, matanya terpejam penuh menghayati. Dirinya yang karismatik serta permainannya pada alat musik itu membuat semua orang di sana hanya menatap kepadanya. Terkesima. Bintang memang jagonya berkarya dengan alat musik, tapi Bulan baru kali ini melihat langsung dan di buat diam seribu bahasa.

Tersadar, Bulan menggeleng keras. Ia tidak boleh melihat lebih lama lagi. Ia harus pergi dari tempat ini secepat mungkin. Karena ia tahu, jika lebih lama lagi di sini, maka yang hanya diinginkannya adalah melihat Bintang terus-menerus dan permainan musiknya itu sangat menggoda untuk didengar. Itu tidak baik untuk image yang selama ini tertanam dalam diri Bulan. Bahkan ia tidak mau sampai terpesona. Memikikannya saja membuat Bulan bergidik. Buru-buru ia berlalu menuju kelasnya.

Sesaat setelah Bulan tak lagi berada di sana, riuh tepuk tangan dan decakan kagum memenuhi ruang musik. Bintang telah selesai dan ia melempar senyum sangat manis.

"Memang permainan biola kamu tidak pernah mengecewakan," ujar Pak Thony seraya tersenyum bangga. Bagaimana pun guru berusia tiga puluhan itu yang melatih Bintang agar lebih mahir lagi.

"Terima kasih, pak."

"Baiklah, silakan duduk. Untuk hari ini pelajaran kita sampai di sini. Jangan lupa dengan tugas kalian. Terimakasih, selamat siang." Pak Thony masih sempat membenarkan letak kaca matanya sebelum akhirnya meninggalkan kelas dengan barang bawaannya. Dengan begitu, muridnya pun beranjak mengikuti jejak si guru untuk keluar ruangan dan kembali ke kelas.

Bintang itu paling anti dengan yang namanya grasak-grusuk, jadi saat teman-temannya yang lain berheboh ingin keluar duluan dia malah santai berjalan sambil mengupas permen bublegum. Memasukkan benda manis itu ke dalam mulutnya lalu mengunyahnya tanpa beban. Sementara Adara dan Sarah lebih dulu menghilang dengan alasan masih harus ke loker.

Gadis itu mencampakkan bungkus permennya ke tong sampah, tapi matanya menangkap benda yang berkilau di tak jauh dari sana. Terkesiap, matanya menyipit memastikan, ternyata sebuah kalung dengan liontin kecil berwarna royal blue. Ini perhiasan mahal. Sempat bingung, Bintang memilih untuk memungut benda itu. Meletakkannya di saku blazer untuk kemudian ia beri ke bagian informasi atau pengumuman.

*

Bulan menggaruk keningnya yang tidak gatal, ia kebingungan setengah mati. Saat jam belajar telah usai dan bel istirahat kedua berbunyi, ia menyentuh lehernya dan tak mendapati keberadaan kalung yang biasa melingkar di sana. Lebih pusingnya lagi ia tidak sadar kapan tepatnya benda itu menghilang. Bulan merutuki dirinya sendiri karena keteledoran itu.

Sadar temannya bertingkah aneh, kening Zia berkerut dan ia langsung melontarkan berbagai pertanyaan.

"Lo kenapa, Lan? Ada yang ilang?"

"Ha? Iya Zi, kalung gue." Bulan memilih memberitahukan Zia daripada temannya itu tambah heboh.

"Loh kok bisa? Terakhir kapan lo pake?"

"Gue juga ga tau Zi, terakhir tadi pagi masih gue pake kok."

"Hmm, seharian ini lo udah kemana aja? Kita cari dulu deh, entar kalo gak ketemu juga, kita ke bagian informasi. Gimana?"

"Hmm oke, gue pikir-pikir sih kayaknya tadi pas lagi di toilet, yaudah yuk ke sana."

"Yuk."

Beruntung toilet sedang sepi saat kedua gadis itu tiba di sana, sehingga memudahkan mereka mencari ke setiap sudut. Tapi walau pun sudah di cari dengan teliti dan berulang, hasilnya tetap nihil. Tak ada tanda-tanda keberadaan benda itu. Bulan menghembuskan nafas kasar, pasalnya kalung itu sangat berharga untuknya. Benda itu pemberian terakhir dari neneknya sebelum meninggalkan dunia untuk selamanya. Dan sekarang ia malah menghilangkan.

"Gak ada Ziii," ujar Bulan lesu. Bahunya merosot lemas.

"Yaudah kita cari tempat lain yang lo datangi juga, sebelum ditemuin orang jahat. Yuk ah, jangan letoy gitu dong!"

Bulan mengangguk, ada kilat semangat di matanya, setidaknya ia tidak mencari sendirian. Ada Zia yang setia menemani, kalau tidak pasti ia sudah frustasi.

Zia mengikuti Bulan menyusuri koridor yang tadi Bulan lewati. Mata mereka sibuk mencari ke berbagai arah. Sebenarnya mereka agak diuntungkan karena koridor itu terbilang selalu sepi, jadi mereka berpikir kemungkinan besar benda itu masih bisa ditemukan. Tapi sudah lewat ruang musik hingga sampai ke kelas lagi pun mereka tak mendapatkan apa-apa selain raut kecewa Bulan yang semakin nyata.

"Kayaknya kita ke bagian informasi aja deh. Udah tenang aja, kalo rezeki pasti bakal balik lagi," seru Zia.

"Hmm iyadeh, thanks Zi. Lu udah support gue banget."

"Apaan deh, udah kayak menang acara cari bakat aja lu. Santai aja kali Lan, kan lo besty gue," kelakar Zia membuat Bulan tersenyum dan tersentuh di saat bersamaan. Zia memang termasuk teman barunya, namun sudah seperti teman lama.

*

Bintang bergegas hendak menuju ke ruang informasi, namun langkahnya harus terhenti tatkala seseorang mencegatnya begitu saja. Ia meringis, bergidik ngeri melihat orang itu.

"Hai kamu!" Suara menggoda lengkap dengan kerlingan mata. Vera, si gadis body biduan yang tergila-gila dengan Bintang sejak kelas sepuluh. Tak pernah menyerah untuk memikat Bintang dengan berbagai cara. Namun, untung tak dapat di raih, malang tak dapat di tolak, Bintang malah ogah tingkat dewa dengan dirinya. Sebisa mungkin gadis itu akan menghindar bila berjumpa dengan Vera. Beruntung mereka beda kelas, jika tidak mungkin Bintang akan pecah kepala.

"Minggir Vera, gue buru-buru," ketus Bintang berupaya mengusir. Namun ia tahu tidak akan pernah semudah itu.

"Aku dari pagi belum liat kamu Bi, plis jangan usir aku. Kamu ngerti 'kan gimana rapuhnya aku tanpa kamu." Selain suka rencok dan bikin risih, satu hal lagi yang Bintang semakin ilfil, tingkat kelebayan Vera yang di atas rata-rata. Tapi Bintang itu cukup pintar menjaga perasaan orang lain, jadi ia tidak mau mengejek atau malah menyakiti siapa pun termasuk perempuan agresif di depannya ini.

"Dan please, biarin gue lewat."

"I can't, beb," ujar Vera dengan nada semenggoda mungkin dan perlahan mulai mendekati Bintang. Praktis gadis berponi itu mengernyit dan mulai berpikir keras bagaimana caranya untuk menghindar. Satu detik lagi saat jari-jari lentik Vera akan mendarat di lengannya, saat itu pula Bintang melesat lari ke arah mana saja, yang penting lari dulu.

Wussshhhh

"Bintaaaaang, kamu mau kemana? Tungguuuuu!!!" dan adegan bak film india kurang budget pun tak dapat dihindarkan. Beberapa murid yang melihat Vera mengejar Bintang hanya menggeleng malas. Bahkan ada yang sudah bodo amat saking terbiasa.

"Bintaaaaaaang!!!!"


Tbc

BilanWhere stories live. Discover now