18

978 115 16
                                    

Saat sang Ayah memerintahnya sesuka hati terbang ke London, satu hal yang paling mengganggu di pikiran Bintang. Yaitu bagaimana caranya meminta maaf dan menjelaskan semuanya pada Bulan. Ia ingin sekali mengatakan yang sebenarnya tentang apa yang sudah terjadi.

Namun Bintang terlalu lemah, ia takut Bulan tak akan percaya padanya . Dan lagi, dia akan dianggap sebagai orang yang suka mempermainkan.

Bintang bingung dan dilema, satu harian di sekolah ia habiskan dengan melamun dan terus melamun seperti anak ayam kehilangan induknya.

Ia sempat berpikir bagaimana kalau ia pergi begitu saja, tanpa pamitan atau semacamnya terlebih dulu.

Bukankah begitu lebih baik, sudah menyakiti, menghilang pula. Bintang menggeleng kecil, sungguh luar biasa berengsek dirinya.

Tapi jika dipikir-pikir rasanya sulit mengatakan pada Bulan. Sulit juga jika tidak mengatakan.

Bintang menggeleng keras, kepalanya benar-benar pusing memikirkan ini. Sampai-sampai ia tak sadar kalau kelasnya telah bubar karena jam pelajaran telah usai.

Ia lantas membereskan barang-barangnya lalu berjalan keluar kelas dengan lunglai.

Sebelum ia benar-benar keluar dari kelas, untuk beberapa saat ia berdiri di ambang pintu. Menoleh pada setiap sudut kelasnya yang penuh memori. Hari ini, hari terakhir ia menjadi bagian kelas ini, besok ia akan pergi dan memulai kisah di tempat lain.

Rasanya sedih jika harus pergi mendahului teman-temannya, karena sebenarnya ia ingin lulus disini. Ingin berbagi suka dan duka hingga tamat sekolah.

Bintang tersenyum getir, ia menguatkan semangatanya. Bagaimana pun keputusan sang ayah sudah bulat. Dia akan terbang ke London besok.

Huffft

Dengan lemas Bintang melanjutkan langkahnya, menyusuri koridor yang mungkin akan dia rindukan. Koridor tempat ia berlabuh dan mengukir kenangan bersama teman seperjuangan.

Lalu saat ia akan menuju parkiran matanya menangkap sosok orang yang dirindukannya tengah berjalan ke arah yang sama.

Bulan.

Bintang menarik nafas kasar, lalu menghembuskannya perlahan, sebelum akhirnya ia berlari ke tempat gadis itu.

Sudah ia putuskan. Bulan harus tahu keputusan besar ini. Meski berat memberitahunya, tetap saja lambat laun gadis itu akan mendengar berita heboh ini. Dan Bintang ingin ia yang memberitahu langsung bukan dari orang lain.

"Bulan?"

Bulan tersentak, kakinya otomatis berhenti melangkah saat suara yang sangat ia kenal itu memanggil namanya dari arah belakang. Bak adegan slowmotion, lantas ia berbalik dengan rambut tergurai yang berkibar.

"What?"

Bintang kicep. Ia menelan salivanya susah payah. Parah parah parah, mantan makin cantik aja!

"Hm, aku boleh minta waktunya sebentar?" What?! Aku? Sadar Bintang lo itu orang yang udah tega nyampakan dia. Jangan sok manis deh.

Sebelum benar-benar menjawab, Bulan kelihatan berpikir terlebih dulu. Yang mana itu membuat Bintang semakin getar-getir.

"Oke."

"Hah! Serius?"

"Iya, cuma sebentar kan?"

"Iya aku janji ini bakal sebentar. Tapi nggak di sini, boleh kan?"

"Lho gak--"

"Please~"

"Okeee."

Bulan tak tega juga rupanya melihat wajah memelas Bintang yang diam-diam membuatnya gemas. Sedari tadi ia menahan diri untuk tidak berteriak mengagumi mantannya ini. Ya ampun!

***

Setelah mendapat persetujuan, akhirnya Bintang membawa Bulan ke salah satu tempat favoritnya. Danau di taman kota yang tak terlalu ramai.

Kini mereka berada di salah satu bangku yang berjejer di sepanjang tepian danau dengan diatapi pepohonan mahoni yang rindang.

Tidak banyak orang di jam seperti ini menghabisakan waktu di sini, membuat Bintang sedikit lebih nyaman.

Untuk beberapa saat mereka hanya terdiam dengan pandangan terpusat ke tengah-tengah danau yang tenang. Mereka sama-sama bingung, hingga akhirnya Bintang lah yang lebih dulu buka suara.

"Aku mau minta maaf."

"Udah gue maafin. Lagian cuma mau ngomong gitu kenapa harus jauh-jauh ke sini."

Bintang meringis, sepertinya Bulan mulai sensi kepadanya.

"Aku juga mau bilang, ini hari terakhir aku sekolah di BHS. Setelah hari ini kamu boleh berlega hati, karena nggak akan ada lagi si Bintang yang menyebalkan yang akan kamu lihat nantinya."

Alis Bulan menukik tajam seiring kerutan dahinya yang sulit ia sembunyikan. Mendadak ia merasakan hawa tidak sedap mulai melingkupi mereka.

"Kok?"

"Iya, besok aku akan ke London. Melanjutkan studi di sana, dan..." Bintang menggantung ucapannya, ia menoleh kepada Bulan. Dan mereka pun saling melemparkan pandangan yang sulit diartikan.

"... akan seterusnya tinggal di sana."

Bulan masih terdiam, terlalu bingung untuk bereaksi.

"Huffth! Maaf ya, untuk yang kemarin. Untuk semua kesalahan yang telah aku buat. Aku juga terima kasih untuk semua moment yang bisa kita ciptakan, walaupun memang gak lama. Aku cuma mau terbang ke negeri orang dengan damai. Walau aku tahu kamu pasti masih marah banget sama aku."

"Jadi kemarin itu kamu mutusin aku karena ini? Karena kamu bakal pergi jauh dan nggak mau LDR gitu?"

"Ha?"

"Oke, Bi. Aku udah maafin kok. Kita udah sama-sama dewasa, kita berhak menentukan jalan hidup kita masing-masing. Walaupun sebenernya nyakitin hati orang itu gak termasuk, tapi aku berusaha buat ngerti apapun alasan kamu. Yaudah deh semoga kamu sukses di sana."

"Bulan--"

"Memang dari awal seharusnya nggak ada sesuatu diantara kita, tapi ternyata semesta memiliki cerita berbeda. Mungkin dia mau kita belajar untuk lebih dewasa dan berbesar hati. Sekali lagi, semoga sukses ya."

Lalu saat Bulan sudah berdiri dari duduknya, tiba-tiba tangannya ditarik oleh Bintang dan dalam sekali hentakan ia telah berada dalam pelukan gadis itu.

Untuk beberapa saat semua pergerakan disekeliling mereka terasa terhenti.

Hanya detakan jantung mereka yang seolah berlomba.

Rasanya masih sama. Pikir keduanya.

Biarpun mereka telah berdamai dan mencoba mengikhlaskan satu sama lain, tapi rasa itu tetap tidak berubah. Keduanya masih saling mencintai.

"Maaf..." lirih Bintang. Hanya itu yang bisa ia katakan disela-sela hembusan lembut angin di wajah mereka yang sendu.



Sorry for typo

BilanWo Geschichten leben. Entdecke jetzt