8.

2.5K 257 0
                                    

Setibanya Bintang di rumah, gadis berlesung pipit itu langsung mencari keberadaan ART yang biasa membersihkan kamarnya. Tak buang waktu, langkahnya tergesa menuju dapur, tempat biasa para asisten berkumpul di jam seperti ini. Begitu memasuki dapur, irisnya menangkap sosok bik Anum tengah membersihkan lemari pendingin.

"Nyari apa non?" Asisten paruh baya bertubuh agak gemuk itu menatap penuh pada anak majikannya.

"Bik, kemaren yang bersihin kamar aku siapa ya?" tanya Bintang sopan pada bik Anum, asisten yang cukup lama bekerja di kediaman Laska.

"Bibik, non."

.
.
.

Parkiran BHS tampak sudah di penuhi jajaran mobil mahal seiring dengan jam belajar akan segera di mulai. Namun di salah satu kendaran berkilau itu, Bulan masih tepekur di dalamnya. Menatap kosong pada stir di depannya.

Gadis itu lebih segar dari hari sebelumnya. Meskipun dengan riasan tipis seperti yang selalu dikenakan, tapi tak bisa dipungkiri parasnya tetap terpancar bak dewi.

Biarpun begitu, masih tersisa raut murung di sana. Bulan tentu masih memikirkan benda berharga miliknya yang belum ketemu. Di balik diamnya itu ia berpikir, kemungkinan apalagi yang bisa ia lakukan untuk mendapatkan kembali kalungnya.

Sesaat ia terperanjat dan menyadari bel masuk akan segera berbunyi. Tak ingin terlambat Bulan pun keluar mobil dan memacu langkahnya. Beruntung gadis itu menang dari kejaran waktu, hingga tiba di kelas dalam keadaan aman.

"Udah sembuh lo?" tanya Zia begitu melihat batang hidung temannya itu. Matanya tak lepas dari gerak-gerik Bulan yang baru datang.

"Iya gitulah, Zi."

"Hmm pasti lo masih mikirin kalung lo itu 'kan?" Tebakan Zia mendapat anggukan lemas dari Bulan. Ia merasa payah karena tak mampu menyembunyikan rautnya yang murung.

"Gue ada ide?"

"Apa?!"

"Gimana kalo lo adakan sayembara."

Ekspresi Bulan yang semula berbinar berubah aneh sepersekian detik. Keningnya mengerut dengan alisnya yang bertaut. Menatap Zia dengan tatapan tak percaya. Sebelum gadis itu berubah diri menjadi alien dan membunuhnya, Zia buru-buru melanjutkan ucapannya.

"Umm, menurut gue nih. Kalung lo itu ada yang nemuin, tapi gak mau balikin. Saran gue, lo buat pengumuman aja, kalo yang nemuin cowok lo jadikan pacar, nah kalo cewek ya terserah lo. Gimana?" Zia menaik-turunkan alisnya. Melihat Bulan berpikir, ia yakin ide yang baru ia presentasikan sangat mujur dan bisa diterima.

"Hmm, iya juga sih." Meski ide itu terdengar klise bahkan aneh. Tapi jika menyangkut barang berharga miliknya, Bulan merasa sanggup melakukan. Tidak ada salahnya jika dicoba, semua bisa terjadi. Walaupun ia harus merelakan kejombloan yang masih dijaganya jika benar kalung itu ditemukan seorang pria. Memikirkannya saja membuat Bulan meringis dalam hati.

"Good, pas istirahat kita ke bagian informasi."

Sejenak keduanya saling mendiamkan. Hingga seorang dari kelas lain masuk dan mencari Bulan. Memberi tahu bahwa ia dipanggil ke ruangan informasi. Seketika lampu di kepala Bulan seolah menyala. Berharap ada berita bagus menghapiri.

.
.
.

Bulan tak ingin membuang waktu dengan melalui rute paling lama menuju ruang informasi. Untuk itu ia memilih lorong dari belakang perpustakaan yang merupakan jalur paling efisien, meskipun lorong itu selalu dalam keadaan sepi.

Didorong oleh rasa penasaran dan penuh harap yang kuat, gadis bermata hijau itu berjalan dengan cepat. Hingga di tengah perjalanan ia harus terhenti oleh penampakan Vera dan dua dayangnya yang menghadang.

BilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang