9

2.5K 239 5
                                    

Bulan tidak mengerti mengapa belakangan ini Bintang terlihat hobi menemuinya. Berada disisinya dan terlihat peduli dengannya. Itu sedikit mengusik Bulan, dan kelakuan tak manusiawi si Medusa pagi tadi juga berawal dari sikap si tomboy ini. Jadi jelas, sikap Bulan pada Bintang tak pernah berubah. Tetap ketus.

Sambil bersedekap, gadis bermata hijau itu menatap datar Bintang di tengah lorong. Mengabaikan bisik-bisik beberapa murid yang berlalu lalang. Karena ada yang lebih penting, berharap Bintang agar segera sirna dari hadapannya.

"Mau apa lo?"

"Gue denger dari Adara, tadi pagi lo sama Vera di belakang perpus. Lo beneran gak diapa-apain? Karena setau gue kalian gak dekat dan Vera itu lumayan psiko."

Bulan membetulkan letak helai rambutnya yang menjuntai ke belakang telinga. Jujur tatapan Bintang begitu hangat, tapi gengsinya terasa lebih membakar.

"Gue rasa lo gak perlu seperhatian itu."

"Lo harus hati-hati sama Vera, dia bisa lakuin hal gila kalo dia mau. Dan sebenernya gue ke sini juga sekalian mau ngasih ini, barangkali milik lo?!"

Mata emerald itu membeliak saat bersitatap dengan benda di genggaman Bintang. Kilat bahagia jelas tercetak di sana. Akhirnya benda kesayangan miliknya telah kembali tanpa perlu mengadakan sayembara gila itu.

Bulan mengabaikan senyum Bintang dan sorak bahagia Zia. Karena fokusnya benar-benar pada kalung yang berusaha ia gapai itu.

"Kok ada sama kak Bintang?" tanya Zia yang sedari tadi memilih bungkam karena tak tahu ingin mengatakan apa.

"Oh itu, ketemunya di depan ruang musik sih, waktu hari sabtu itu. Maaf ya telat balikin, soanya sempet lupa. Jadi beneran punya Bulan nih?"

"Iya. Thanks." Dengan berat hati dan sedikit malu, Bulan mencicitkan rasa terima kasihnya. Ia bingung, dari sekian ratus murid di BHS kenapa harus Bintang yang menemukan.

'Kan nyebelin.

"Your welcome. Oke. Kalo gitu gue duluan ya." Bintang hendak berlalu dengan santainya. Lorong telah sepi, dan perutnya minta diisi.

"Iya, kak." Zia tersenyum ramah sembari melambaikan tangannya pada Bintang yang memudar dari pandangan. Sementara Bulan masih asyik dengan kalungnya.

"Btw kak Bintang menang sayembara dong."

Gadis bermata zambrud itu mendelik. Cukup sudah, tidak ada sayembara-sayembaraan. Hinga akhirnya tatapan sengit itu berakhir dengan Zia yang menunjukkan cengiran tak berdosanya.

.
.
.

Dari awal Vera sangat membenci Bulan. Tidak ada yang bisa melunturkan kebenciannya. Terlebih lagi untuk saat ini, ketika mata coklatnya tak sengaja menangkap sosok itu bersama Bintang-kekasih khayalannya- di bawah sana, di lorong kelas X.

Wajahnya seketika berubah mengeras dan matanya terlihat berapi. Giginya menggeram menahan berbagai sumpah serapah. Tangannya mencengkram pagar balkon dengan rasah. Kini si gadis medusa terlihat seperti bom waktu yang siap meledak.

Vera tak mampu mendengar topik yang mereka bahas, namun tetap saja ia merasa murka. Tampaknya gadis blasteran itu belum jera, bahkan setelah kejadian pagi tadi. Vera berdecih jengkel. Kedua pengikutnya bersuara, namun tak memberi pengaruh yang berarti.

"Gila ya tuh bocah! Masih aja kegatelan sama Bintang." Itu Dhisty. Berpenampilan tak jauh beda dengan junjungannya. Heboh dan penuh riasan. Hanya saja wajah imutnya tak bisa dihilangkan. Banyak yang bilang, dia tak pantas bersekutu dengan Vera si biang masalah. Terlalu kontras.

"Hu'uh, ternyata si bule perancis tuh remehin kejadian tadi pagi ya? Kayaknya lu harus lebih keras lagi Ver!" Giliran Fika. Wajah bengisnya sebelas dua belas dengan Vera. Penampilannya juga tak kalah, setiap hari gaya rambutnya berbeda. Bahkan satpam BHS mengira dia memiliki salon pribadi.

Trio berkilauan ini telah membentuk squad bahkan sejak masuk sekolah. Hingga setiap hari pemandangan kebersamaan mereka tak terhindarkan.

"Of course! Gue gak akan lepasin bicth itu, sampe ke DNA-nya sekalipun!"

"I love it!" Fika sumringah sembari bertepuk tangan menatap Vera. Di bawah sana, Bintang dan Bulan serta Zia telah bubar jalan.

"Kita bakal kasi bocah itu supraise di party tahunan, sabtu nanti!" Vera tersenyum licik. Apa pun yang ada di kepalanya saat ini, pasti bukan hal baik untuk Bulan.

.
.
.

Untuk merayakan ulang tahun BHS yang jatuh pada tanggal sebelas Juli, sekolah itu secara resmi mengadakan pesta setiap tahunnya.

Ada banyak kegiatan berlangsung meriah di pesta tahunan itu, seperti kontes musik dari murid BHS sendiri dan berbagai ajang lainnya.

Bintang sendiri setiap tahun berpartisipasi dalam acara tersebut. Tahun lalu ia memenangkan untuk kategori pemusik solo terbaik. Akibat banyak yang minder, tahun ini ia lebih memilih menjadi pengisi acara saja daripada sebagai peserta.

Malam hari adalah puncak perayaan ulang tahun BHS. Para murid akan menunjukkan penampilan terbaik mereka. Lelaki dengan tuxedo,sementara para gadis dengan dress memukau-untuk satu ini Bintang dibebaskan dengan stelan yang ia inginkan-. Kini aula BHS nan megah itu disulap seperti ballroom hotel dengan kilauan sana-sini. Tepat di bagian tengah aula, para siswa-siswi boleh berdansa, tentunya setelah pengumuman pemenang dilaksanakan.

Vera dan dua sekutunya berdiri di pojok ruangan. Memantau pergerakan Bulan dengan mata elang, sambil berharap perempuan bermata zambrud itu memberi mereka kesempatan.

Harapan trio berkilauan tak sia-sia, tepat pukul 21.49, Bulan terlihat keluar aula seorang diri.

"Come on, guys!"

Dengan keangkuhan tingkat tinggi dan gaya ala-ala princes, Vera serta dua dayangnya mengikuti langkah Bulan. Senyum licik tak henti-hentinya tercetak di bibir ketiganya yang berlapis gincu merona.

Hingga ketika Bulan melewati lorong sepi yang mengarah ke toilet, trio berkilauan bergerak cepat bagai agen rahasia yang terlatih. Menggeret paksa Bulan yang meronta lalu mendorong gadis itu ke lantai dingin gedung olah raga yang minim cahaya.

Bugh!!

"Jangan mentang-mentang bapak lu pimpinan yayasan, lo boleh dekatin Bintang dan belagu nantangin gue!" Vera menatap tajam Bulan serta menunjuk-nunjuk gadis itu dengan arogan. Dagu terangkat pongah, seolah menunjukkan dirinyalah saat ini berkuasa penuh.

Shit!!

Tatapan Bulan tak kalah sengit. Tubuhnya berusaha bangkit demi menunjukkan siap berperang. Namun tangan-tangan menjijikan dua dayang Vera sangat tidak membantu.

"Kalau papa gue yang anggota Dewan sekaligus pengusaha itu mau, dia bakal beli kontan sekolah ini dan tendang lo sejauh mungkin. Dan lo harus tau bitch, Vera Amalia Wiryawan adalah putri kesayangan! Jadi ini peringatan terakhir buat lo. Jauhi Bintang!"

Bulan bersumpah dalam hati akan mendaratkan telapak tangannya di wajah sialan si medusa itu. Berani sekali dia bertindak brutal dan main keroyokan seperti ini. Menjijikan.

Lalu dengan amat tiba-tiba, lengan ketiga gadis itu bergerak kompak membawanya ke tepian kolam renang. Bulan dapat memastikan bahwa ia tahu apa yang kini otak kotor trio berkilauan itu pikirkan. Mendadak tubuhnya melemas serta keringat dingin sukses meluncur.

"Mampus lo bangsat!!"

Byurr!!

Benar saja, detik berikutnya tubuh ideal gadis berambut coklat itu menembus air kolam renang yang amat sangat dingin untuk dirinya yang hanya mengenakan dress. Riak air serta tawa menjijikan Vera dan dua sekutunya membahana seantero ruang olah raga yang luas. Vera benar-benar puas. Kini tidak ada yang membantu Bulan.

"VERA!!"


Tbc.

Janlup voment guys~

BilanWhere stories live. Discover now