7.

2.5K 284 2
                                    

Bintang tersenyum pada penjaga yang membukakan gerbang untuknya, yang lantas dibalas mereka sumringah. Ini kedua kali ia bertemu dengan kedua pria tegap itu di tempat yang sama pula.

Sementara itu Bulan mengucap syukur, perjalanan yang dirasa berabad ini akan segera berakhir.

Mobil sport warna putih itu berhenti di halaman luas kediaman Cholen. Dengan gerakan cepat Bulan melepas sabuk pengamannya lalu mencicitkan terima kasih dengan pelan. Pelan sekali, hingga Bintang rasanya hanya mendengar gumaman.

"Gak nawarin gue mampir?"

Kelopak mata Bulan melebar saat jemarinya bahkan belum sempat membuka pintu. Secepat cahaya ia menoleh pada gadis rambut pendek yang dengan santai mengucapkan kata-kata yang tak ingin ia dengar.

"Buat apa?"

"Gue haus."

Iris emerald gadis belia itu berkilat, cukup tajam. Tapi tak mampu meruntuhkan pertahanan Bintang.

Hufth!!

"Yaudah yuk!"

Tak ingin kepulan asap mendadak keluar dari kepalanya masih sedikit pusing, Bulan menyanggupi kemauan Bintang. Tentu saja dengan nada ketus dan wajah tak bersahabat. Tapi tampaknya Bintang tak masalah atau mungkin telah kebal.

Memasuki rumah megah itu, Bintang tampak biasa saja. Kecuali pada beberapa furnitur yang menurutnya unik, seperti miniatur kota Bali di sudut.

Belum puas ia melirik-lirik bagian lain, suara Bulan yang ketus kembali menarik perhatiannya.

"Duduk sini aja, gue panggil bi Ani dulu!"

"Eiitttss!!"

Langkah Bulan yang hendak meninggalkan Bintang di ruang tamu yang besar itu harus terhenti tatkala Bintang menarik ujung cardigan miliknya.

"Apa lagi?!" tanya gadis campuran itu dengan malas. Wajahnya dibuat sedatar mungkin. Sungguh ia hanya ingin segera bersantai di kamarnya.

"Gak mau ah di sini, gabut." Tanpa rasa takut atau segan, Bintang dengan wajah tak berdosanya mengajukan protes. Hal yang sangat Bulan rutuki, bahkan di hatinya melafalkan mantra agar tak berteriak.

"Jadi mau lo di mana?" Bulan berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. Walau harus menekan rasa kesal itu sendiri. Mendadak rasa sakit kepalanya menghilang, namun digantikan dengan kekesalan yang membuncah.

"Dimana aja asal ada lo!"

"APA?!"

"Harus banget ya pake teriak?"

"IYA!"

Berwajah masam, Bintang mengusap daun telinganya sebagai respon dari teriakan double kill Bulan. Tapi itu tak berati apa-apa untuk Bulan, kini wajahnya siap menerkam.

"Mau lo apa sih? mending lo pulang aja deh dari pada aneh-aneh."

"Loh, 'kan udah jelas mau gue apa." Berbeda dengan Bulan yang merasa jengah, Bintang justru tampak cool dengan memasukkan kedua tangannya ke saku celana bahan yang kini ia kenakan. Menampilkan wajah tak bersalah dan tentu saja menyebalkan bagi Bulan.

Mendapat gelagat menantang dari orang di depannya ini, Bulan tersenyum miring. Sekarang dia mengerti apa yang harus dilakukannya.

"Oke."

.
.
.

Kalau boleh jujur, sebenarnya Bintang hanya iseng. Ingin berlama-lama melihat wajah kesal Bulan yang entah bagaimana belakangan ini menjadi hal favoritnya. Tapi jika berada di kamar gadis itu dan hanya berdua saja, Bintang tak pernah membayangkan. Jadi kini dirinya cukup kikuk dan grogi, beruntung ia masih mampu mempertahankan wajah dan sikap santainya. Walau dalam hati merutuki keisengan diri sendiri.

BilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang