11

2.6K 252 34
                                    

"Awhh shh, pelan-pelan!" ringis Bintang pada Bulan yang fokus mengobati luka di lengannya. Sebenarnya dia agak canggung juga melihat situasi mereka yang sebelumnya menjaga jarak, tapi sekarang malah di posisi seperti ini.

"Ini juga udah pelan, cengeng banget sih." Bulan mendumal. Namun matanya tetap fokus membalur luka di lengan Bintang dengan antiseptic, sambil sesekali menyelipkan rambut sampingnya yang terurai ke balik telinga.

"Iya-iya aku cengeng." Suasana yang kembali hening dimanfaatkan Bintang untuk memperhatikan gadis ketus di sampingnya ini. Manis.

Luka di lengan Bintang mungkin terasa perih, tapi pemandangan di depannya membuat ia melupakan rasa itu. Meski pun masih ada ketusnya, Bulan sangat cantik, dan dia merasa beruntung hari ini. Bolehkan dia egois untuk berlama-lama dengan Bulan?

"Okay, done!"

"Well, thankyou."

Bulan mengangguk kecil. Bibirnya mengerut seperti ingin mengatakan sesuatu, namun sangat payah untuk diucapkan. Bahkan tanpa sepengetahuan Bintang, ia memilin ujung sweater biru yang ia kenanakan saking gugupnya. Sebelumnya ia tak pernah segugup ini hanya karena ingin mengatakan sesutu dihatinya. Entah karena efek jantung yang sedari tadi berdebar atau karena wajah Bintang yang terlampau mempesona di depannya ini.

"Bintang, mungkin lo berpikir gue gadis yang jahad dan egois, tapi..."

"Tapi apa?"

"Gue mau minta maaf sama lo."

Bintang mengernyit. Ini aneh, tak seperti biasanya gadis seacuh Bulan meminta maaf padanya. Ia bahkan mengerjap pelan, tak menyangka.

"Pertama gue adalah orang yang pemaaf, bukan mau sombong tapi memang begitulah adanya. Kedua, dalam hal apa lo minta maaf sama gue? Seingat gue selama ini kita berada dalam zona tak akrab, dan gue mamaklumi diri lo yang seperti itu sama gue. Hm, jadi kenapa?"

Bulan menelan salivanya. Sedikit tak menyangka Bintang bisa juga senarsis ini. Tapi bukan itu poin pentingnya. Sekarang adalah bagaimana ia bisa mengatakan kalau akhir-akhir ini Bintang selalu mengisi tempurung kepalanya. Bagaimana caranya agar ia mudah mengutarakan bahwa Bintang mulai sekarang tak perlu lagi menjauhinya. Bahkan bila perlu mereka menjadi teman atau lebih, ups. Satu itu cukup membuat kepala Bulan menggeleng tak percaya.

Lidahnya mendadak kelu, semua kata-kata yang dirangkai sedemikian rupa seakan sirna terbawa semilir angin yang bertiup. Baiklah itu cukup berlebihan, tapi memang seperti itulah Bulan saat ini. Mendadak sangat kaku dan grogi.

"Hey, halo! Gue harap lo gak merencanakan sesuatu apapun itu yang bisa membuat kita seharian dalam mobil ini. Gue takut di grebek warga, plis!"

"Diem dulu ih!"

"Kalo gue diem, lo diem, terus siapa yang ngomong? Rumput yang bergoyang?"

"Kok lo jadi ngegas?"

"Ya mohon maaf."

Huft~
Bulan mendesah pelan, Bintang yang tiba-tiba cerewet ini sangat tak membantu keadaan dirinya.

"Oke, gue suka sama lo. Mulai sekarang jangan jauhin gue lagi!"

Bintang membeku. Kalimat keramat itu sukses membungkamnya. Tak terbayang kini keadaan detak jantungnya yang berulah.

"Ini lo beneran? Gue gak salah denger kan? Atau lo cuma ngeprank?"

"Ini beneran, gak tau kenapa akhir-akhir ini gue selalu kepikirin lo. Dan saat gue mulai mengerti gue sadar apa yang gue rasa dan gue mau. Gue mau lo jangan jauhin gue lagi. Maafin kalau selama ini gue suka gak santai sama lo, mungkin karena sebenernya gue ada rasa yang setengan mati gue tutupin, yaitu suka sama lo."

Lagi, Bintang membeku. Kali ini disertai perutnya yang mulas menyenangkan. Masa bodo dengan dugaan prank atau semacamnya, Bintang tak mau lagi mengacaukan suasana. Tatapan mata Bulan dan wajahnya yang memerah cukup membuktikan bahwa gadis campuran itu sedang sungguh-sungguh. Jika sudah begini, mana bisa Bintang menyia-nyiakan kesempatan.

"Meski sekarang lokasi kita gak asik banget, tapi gue suka kata-kata lo. Bukan cuma itu aja, gue juga suka sama lo. Bulan Cantika Cholen, kalau boleh, lo mau ga jadi pacar gue? Plis jawab dengan segera, soalnya bapak tukang parkir sebelah sana itu mulai lirik-lirik manja kita, gue takut aja dia bawa rombongan sakin curiga."

Bulan tersenyum tipis. Lega sekaligus senang bukan main. Ia baru sadar seorang Bintang juga ternyata bisa konyol tapi manis di saat yang bersamaan. Ini adalah salah satu moment terbaik dalam hidupnya.

Indomaret dan parkirannya serta bapak-bapak di ujung sana, selamat kalian menjadi saksi awal mula roman picisan kedua anak manusia ini.

"Iya gue mau, Bintang cerewet!"

"Hahaha, kok aku seneng ya dihina sama kamu. Oh iya karena Bulan dan Bintang yang telah resmi bersama, maka mulai dari detik ini manggilnya aku-kamu aja, atau kalau perlu manggilnya sayang."

.
.
.

Sebuah taman komplek dengan beberapa permainan anak TK yang sedang sunyi menjadi tempat pertama yang mereka kunjungi. Entah ini menjadi kencan pertama atau sekedar mejeng, tapi tempat yang dipilih Bintang memang agak di luar ekspekstasi.

Andai saja Vera yang mendapat kehormatan merasakan posisi Bulan sekarang ini, mungkin ia akan berpikir dibawa jalan-jalan ke Mall paling luas sejagat raya bukan malah duduk-duduk macam pengamen di atas kursi kayu jelek sembari di temani es krim kampung seperti ini.

Tapi ini Bulan, bukan Vera si gadis yang hobi menebalkan bedak daripada menebalkan rasa malu. Bulan tak peduli mau itu duduk di bangku taman yang jelek atau bangku gubuk reyot sekalipun. Yang penting adalah rasa nyaman dan seseorang yang berada di sampingmu.

"Aku boleh nanya?" Bintang memecah kesunyian diantara mereka yang sedari tadi hanya diisi suara angin mendayu serta gesekan daun yang menimbulkan simfoni rasa nyaman. Juga tawa kencang dari beberapa anak yang tengah bermain.

"Boleh, nanyak apa? Selagi aku masih bisa jawab, pasti aku jawab."

Taman boleh sepi dan sikap Bintang boleh kalem, tapi ritme jantungnya sangat ramai. Apalagi setelah melihat senyuman manis macam madu milik Bulan. Ambyar!

Maaf es krim, kalian masih kalah manis dengan senyum pacar baruku ini!
Oke, kelem begok! Jangan buat Bulan ilfil.

"Waktu kejadian di ruang olahraga, kamu diceburkan dalam kolam renang, tapi yang aku lihat kamu histeris banget kayak udah tenggelam di samudera atlantik. Kenapa gitu?"

Bulan menahan nafas kemudian menghembuskannya perlahan seolah menimbang apakah dia perlu menceritakan tentang alasan di balik semua itu. Matanya beralih pada segerombolan anak-anak yang rupanya asik bermain kelereng itu, hanya untuk menghindari tatapan Bintang. Ia tak ingin membuat gadis itu mengetahui sorot matanya yang mendadak kelabu. Ada jeda di antara mereka hingga kemudian Bintang kembali bersuara.

"Bulan, kamu taukan, kamu gak harus cerita kalo itu membuat kamu merasa gak nyaman. Aku bisa ngerti, mungkin suatu saat nanti kamu bakal cerita bahkan tanpa aku minta. Santai aja, oke?"

"Makasih atas perhatian kamu, Bi. Maaf karena mungkin aku masih begitu tertutup."

"Gak pa-pa, aku malah ngeri kalo kamu udah berani maen buka-bukaan."

Tak bisa dipungkiri, sekonyol apapun guyonan orang terkasih, tetap saja berhasil membawa kita pada seutas senyum. Begitu pun Bulan, tanpa beban ia tersenyum lembut pada orang di sebelahnya itu. Sosok yang baru beberapa waktu lalu menyatakan perasaannya hingga membawa mereka pada suasana ini.

Keduanya pun tersenyum dengan mata yang terpancar rona bahagia. Seperti tawanan yang terlepas dari penjara, seperti peserta lomba marathon yang menemukan garis finish di depan mata. Lepas dan jauh dari kata sandiwara.


Tbc

BilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang