15

1.8K 154 2
                                    

Bintang duduk rapi di kursinya, menanti apa yang akan sang ayah katakan. Namun tampaknya Tn. Laska masih betah membisu. Keheningan itu membuat aura ruangan yang sebenarnya bernuasa hangat ini mendadak berubah total menjadi sangat mencekam. Bintang merasakan itu tapi urung memulai obrolan.

Mereka malah beradu pandang  dengan ekspresi sang ayah yang sulit dimengerti. Bintang menghela nafas. Berbagai furnitur kayu dan aroma cendana yang bersumber dari pengharum ruangan tak lagi memberikan dia ketenangan.

"Jadi, apa yang mau Papa bicarakan?"

"Apa yang ada di pikiran kamu itu, Bintang?"

"Maksud papa?"

"Jangan pura-pura bodoh!"

Papa membanting amplop coklat itu di atas meja tepat di depan Bintang sehingga isinya berserakan keluar, membuat Bintang menelan ludah mendapati foto-fotonya bersama Bulan terpampang di sana. Ia sadar papa begitu protectif dan sangat mudah mematai-matainya, tapi masih tak menyangka akan secepat ini.

"Bulan Cantika Cholen. Asal kamu tahu, 11 tahun yang lalu papa menyelamatkan dia dari ombak yang hampir menewaskannya. Di Bali. Dan sekarang, papa harus menyelamatkan putri papa sendiri dari jangkauan tangannya. Karena apa? Karena ini salah, Bintang!"

Bintang semakin membisu, ingatannya melayang pada percakapannya dengan Bulan beberapa jam lalu. Mendadak semuanya menjadi masuk akal.

"Tinggalkan gadis itu atau--"

"Atau apa, Pa? Sudahlah, pa, berhenti menguntitku. Memangnya apa--"

"Berhenti kamu bilang. Bintang seharusnya kamu sadar siapa diri kamu, kamu itu pewaris Laska. Papa tidak akan biarkan kamu hanyut dalam cinta monyet itu. Kamu lupa selama ini papa selalu memberikan apa yang kamu inginkan. Tapi, untuk satu ini tidak ada kompromi. Tinggalkan gadis itu atau kamu akan papa kirim ke London secepatnya."

"Apa?!"

"Apanya yang apa?"

Suara bariton papa semakin dingin dan tegas, hingga tanpa sadar berhasil membuat bulu kuduk Bintang meremang. Ini tidak bagus, dari dulu hal yang paling dihindarinya adalah belajar bisnis. Dan mengenai London, sudah pasti papa akan menyiapkan skenario terbaik untuk menyiapkan dirinya sebagai pewaris Laska.

"Pa--"

"Tidak ada bantahan. Kamu tinggalkan gadis itu, maka kamu akan papa biarkan di BHS sampai lulus. Sekarang pergilah ke kamarmu."

Bintang membuang nafas pasrah. Bagaimana pun dia tak akan menang melawan papa. Jangankan menang, untuk mendapatkan imbang saja rasanya sulit. Tapi meski begitu, tetap saja hatinya sangat berat untuk melakukan perintah sang ayah. Hatinya sudah terpaut pada Bulan, lalu bagaimana bisa dia melepas gadis itu begitu saja. Bahkan ia sudah berjanji untuk menjaga Bulan, lalu bagaimana dia bisa menjaga gadis itu jika dia saja malah disuruh menjauh.

Bintang bukan malaikat yang bisa menjaga tanpa terlihat, dia juga ingin bahagia bersama-sama dengan Bulan.

Dengan langkah lemah ia mulai mencapai daun pintu, namun terhenti saat papa kembali bersuara dengan sangat tegas dan dingin.

"Ingat Bintang, kali ini papa tidak main-main. Selesaikan semuanya! Jika tidak, gadis itu juga akan tahu akibatnya."

***

Bintang membuka jaketnya lalu melempar benda tak bersalah itu asal-asalan. Hati dan pikirannya sedang kacau. Baru saja beberapa jam lalu dia begitu bahagia dengan Bulan, tapi kini badai sudah siap menerpa. Dan menyedihkannya lagi adalah bahwa badai itu dari papanya sendiri. Bintang sanggup melawan dunia, tapi tidak dengan keluarganya sendiri terutama papa.

Inilah takdirnya sebagai anak tunggal keluarga Laska. Di saat seperti ini ia bisa sangat membenci nama belakangnya itu.

Bintang mengambil ponselnya dari saku lalu melihat pesan Bulan tertera di layar.

Bulan: kamu udah sampe rumah?

Bulan: jangan main lagi langsung tidur aja

Bintang: iya.

Lalu dalam hitungan detik, ponsel itu melayang ke tempat tidur. Bintang mengusap wajahnya kasar. Bagaimana mungkin dia bisa menjauhi Bulan. Astaga, rasanya sangat mustahil.

Namun lagi-lagi perkataan sang Ayah seolah menghantuinya. Menjadikannya muak dan alhirnya memilih untuk tidur saja.

Ketiga pagi menjelang dan matahari menampakkan sinarnya, Bintang sama sekali tak berselera bangkit dari kasurnya. Ia hanya berguling malas-malasan hingga waktu terus bergulir dan sang Ibu datang menghampirinya.

"Bintang, bangun!"

"Udah, ma~"

"Badanmu yang bangun, sana siap-siap. Kamu mau terlambat atau gimana?"

"Bintang nggak mau sekolah hari ini, ma."

"Loh, kenapa? Kamu sakit?" Mama mendekati Bintang dan menyentuh dahi anak semata wayangnya itu. Lalu tak merasakan panas apapun di sana. Jadi apa yang membuat anak ini malas sekolah?

"Bintang capek, ma. Mau istirahat aja," ujar Bintang jujur, karena hatinya memang sangat lelah hari ini.

"Yaudah, kamu ijin hari ini. Biar nanti Mama yang telpon pihak sekolah." Mama mengelus sayang puncak kepala sang anak lalu menaikkan selimut tebal itu hingga ke dadanya. Kemudian berlalu dari kamar itu tanpa sedikit pun mengatahui bahwa hati Bintang sedang rapuh. Yang ia pikir adalah Bintang memang sedang lelah dengan rutinitasnya.

****

"Bapak udah pergi, Bik?"

"Udah, Bu, baru aja."

Mama mengangguk lalu memilih melanjutkan serapannya seorang diri di meja makan besar itu.

"Oh, iya, Bik, tolong antarkan serapan ke kamar Bintang, ya. Dia lagi nggak enak badan."

"Duh, kasian non Bintang, baik Bu, akan Bibik antarkan."

Selepas kepergian Mama ke kantor, Bibik pun kemudian membawa nampan berisi sarapan empat sehat lima sempurna ke kamar anak majikannya itu.

Di kamar ia mendapati Bintang masih bergelut dengan selimut.

"Non, ini Bibik bawain sarapan. Ayo, non, bangun."

"Tarok meja aja, Bik. Makasih, ya." Bibik mengangguk dan mundur teratur.

Sementara di sekolah, Bulan mulai mencari-cari keberadaan Bintang di setiap sudut. Pagi ini Bintang tidak kelihatan dan ponselnya juga tak dapat dihubungi. Ada apa dengan anak itu?

Mata bulan tak sengaja melihat Sarah dan Adara saat akan berbelok di lorong kelas sebelas. Ia langsung berlari menghampiri kedua teman Bintang itu.

"Em, Sory, kalian liat Bintang, ngga?"

"Bintang nggak masuk hari ini," jawab Adara seadanya.

"Kenapa?"

"Nggak tau, mungkin karena nggak enak badan."

Bulan mengangguk paham dan membiarkan mereka berlalu menuju kelas. Dan ia juga akan masuk ke kelasnya, namun dengan perasaan khawatir pada Bintang yang menyelimuti pikirannya.



Tbc

BilanWhere stories live. Discover now