17

1.8K 148 18
                                    

Setelah drama yang terjadi di ruang musik itu, Bintang dan Bulan kembali bersekolah seperti biasa.

Tidak ada sapaan manis, tidak ada lirikan manja, dan tentu tidak ada lagi hubungan diantara keduanya.

Bintang menjadi lebih pendiam dan fokus pada pelajaran, sementara Bulan kembali seperti semula, dingin dan suka mencari masalah.

Perubahan yang terjadi pada keduanya tentu mengundang tanda tanya bagi teman-teman mereka. Zia bahkan habis-habisan mengatakan Bulan sudah kehilangan akal hingga rela melepas seorang manusia bernama Bintang itu. Sosok yang menurutnya panutan sekali.

Bahkan di jam istirahat seperti ini, disaat orang lain sibuk mengisi perut, Zia malah tak henti-hentinya bercerita seputar Bintang. Seolah dia sudah kenal kakak kelas itu sejak bayi.

"Gue nggak habis pikir. Nggak habis pikir! Bisa-bisanya lo putusin manusia seperfect doi. Udah ngga waras, lo, Lan."

"Paan sih, Zi."

"Saran gue ya, lo pikir ulang lagi deh. Lo berpikir mateng-mateng, Lan, entar lo yang nyesel. Bukan apa-apa, cewek ketus macam lo siapa yang mau deketin, belum juga deket masih ngeliat aja udah pada kabur."

Bulan memutar bola matanya malas, Zia mulai lagi. Semakin hari temannya itu semakin cerewet saja. Kalau boleh jujur dia memang sangat tidak ingin putus, tapi apa boleh buat, si Bintang edan itu yang duluan memutukannya tiba-tiba. Jadi yang bodoh sebenarnya adalah Bintang bukan dirinya.

"Lan, Lan--"

"Apa sih ih?" Bulan menyingkirkan tangan Zia yang menggoyangkan pundaknya tak tentu arah.

"--itu, ada Bintang."

"Ya terus gue harus apa, bambank?! Biari aja lah," kesal Bulan pada Zia yang masih saja betah melihat Bintang yang baru memasuki kantin. Temannya itu bahkan sampai melongo dengan wajah bodohnya.

"Yeee, makanya kalo punya otak tuh dipake, Samsul. Sono samperin."

"Ogah banget."

"Lan?"

"Zi!"

"Okelah, serah lu."

Bel masuk kelas akhirnya berbunyi. Manusia-manusia yang sudah mengenyangkan perut itu pun kemudian berhamburan keluar kantin. Dengan berbagai ekspresi, ada yang tersenyum bahagia karena mungkin guru favorit mereka akan masuk. Ada juga yang merungut karena mungkin sudah dinanti-nanti oleh guru killer dan pelajaran yang membosankan.

Tapi Bulan biasa-biasa saja. Tidak menunjukkan kedua ekspresi tersebut. Tidak manyun juga tidak bahagia-bahagia amat. Bahkan cenderung dingin dan siap menusuk dengan tatapan sedikit tajam.

"Kak Bintang, sini?!" Tiba-tiba teriakan menjengkelkan Zia merusak telinganya. Sekaligus menaikkan tensi darahnya. Apa-apa gadis kurang oksigen itu memanggil mantannya?!

"Paan sih lo manggil dia," bisiknya pada Zia sembari mencubit lengan tak berdosa gadis itu.

"Iya, ada apa?" tanya Bintang dengan senyuman tipis bahkan cenderung terpaksa. Ia cuma melirik sedikit ke arah Bulan yang jelas menunjukkan tanda tidak nyaman akan kehadirannya. Tentu saja, setelah kejadian beberapa hari lalu di ruang musik itu, siapa pun yang berada di posisi Bulan pasti akan membenci dirinya.

"Nggak pa-pa kok, Kak, cuma bingung aja kok tumben sendiri, yang lain pada kemana? Biasanya bertiga terus tuh, kayak trio macan."

"Oh, Adara sama Sarah lagi sibuk ngurusi olimpiade mereka. Maklum udah mau masuk bulan-bulan kompetisi."

"Ah, iya, bener! Yaudah yuk bareng aja kalo mau ke kelas, kan kita searah."

"Apaan sih, Zi, nggak pokoknya. Gue ngga mau bareng dia. Siapa juga yang mau barengan sama orang sok keren kayak dia, nggak. Pokoknya nggak."

BilanWhere stories live. Discover now