Prolog

14.6K 1K 17
                                    


Jam di dinding sebuah kamar menunjukkan pukul 20.30 ketika suara ketukan di pintu membuyarkan fokus seorang laki-laki yang berada di dalam ruangan itu, Haechan. Ia melirik sekilas daun pintu yang masih tertutup sebelum kembali berkutat pada beberapa dokumen di hadapannya, "masuk."

"Lagi sibuk, Chan?"

Haechan mengalihkan pandangannya pada sumber suara barusan dan netranya menangkap bayangan sang Bunda yang tengah berdiri di depan pintu.

Haechan menggeleng, "nggak kok, Bun. Cuma lagi ngecek beberapa dokumen aja."

Sang Bunda kemudian masuk dan mendudukkan dirinya di tepi ranjang yang bersampingan dengan meja kerja Haechan.

"Ada yang mau Bunda bicarakan sebentar sama kamu."

Haechan meletakkan dokumen di tangannya lantas menggeser kursi yang sedang didudukinya, mendekat ke arah sang Bunda, "ada apa, Bun?"

Alih-alih berucap, beberapa detik berlalu dengan hanya hening yang memenuhi ruangan bercat biru muda itu.

"Chan," panggil sang Bunda, memecah keheningan yang ada. Tangan kanannya mengusap punggung tangan Haechan pelan.

"Bunda minta kamu pertimbangin lagi, ya, tentang perjodohan kamu sama keponakannya Pak Johnny?"

Haechan memejamkan matanya, 'itu lagi?'. Sejak satu pekan kemarin, Bunda terus saja membujuknya mengenai hal yang sama. Hal yang membuatnya jengah. Perjodohan, perjodohan, perjodohan.

Haechan menarik nafas cukup dalam kemudian mengembuskannya kasar, "Bun, Haechan 'kan udah bilang, Haechan belum ada pikiran untuk menikah. Haechan masih pengen nikmatin masa-masa awal Haechan jadi dokter sekarang."

"Lagian, Haechan nggak kenal sama dia. Haechan mau cari sendiri perempuan untuk pendamping Haechan nanti."

"Tanpa cara perjodohan," lanjutnya.

Usapan tangan Bunda beralih menjadi genggaman. Netranya menatap Haechan sendu.

"Iya, Bunda ngerti. Bunda nggak minta kamu buat buru-buru menikah, seenggaknya bukan untuk tahun ini. Tapi..." ucapannya menggantung, membuat Haechan yang mulai malas mendengarkan, kembali menatapnya.

"Bunda mohon, kamu mau, ya, seenggaknya buat kenalan dulu sama dia?"

"Bun..."

"Kamu harus inget, Chan, kalau takdir Tuhan nggak bawa kita buat ketemu Pak Johnny, kamu mungkin belum bisa jadi dokter dan kerja di rumah sakit impian kamu sekarang."

"Lagian apa salahnya buat buka hati kamu? Bunda tau, sejak putus dari Kara, kamu udah nggak pernah punya temen deket perempuan lagi 'kan?"

Haechan terdiam sejenak. Otaknya penuh sekali rasanya, berisik. Ucapan sang Bunda memang benar. Namun, rasanya berat untuk memenuhi satu hal itu. Tak adakah hal lain yang bisa ia jadikan penebus jasa orang yang telah berbaik hati membiayai pendidikannya selama ini selain perjodohan?

Oh, memang tidak ada jalan lain. Kalaupun nanti Haechan sukses dengan karirnya sebagai dokter, mengumpulkan lebih banyak uang daripada yang telah Johnny keluarkan untuk membiayai kuliah Haechan, lelaki itu tidak akan mau menerimanya sebagai ganti balas budi. Ia paham betul karakter Johnny yang loyal.

Haechan kembali mengembuskan nafas, gusar.

"Haechan nggak bisa, Bun. Haechan nggak bisa menikah atas dasar balas budi, apalagi rasa kasihan."

"Berhenti bilang perjodohan ini ada karena Pak Johnny kasihan sama dia, Chan. Pak Johnny cuma pengen keponakannya itu mendapatkan orang yang baik, dan dia percayain itu ke kamu."

"Tapi, Bun, Pak Johnny sendiri yang bilang, semua terserah Haechan untuk menerima atau menolak perjodohan ini."

Bunda menggeleng, "coba kamu pahami, Chan. Pak Johnny bilang kayak gitu justru karena dia pengen kamu nerima. Dia cuma nggak mau berterus terang."

"Bun..."

"Pertimbangin lagi, ya, Chan?"

Haechan diam untuk beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk ragu, hanya agar sang Bunda tak lagi mendesaknya.

"Iya, nanti Haechan pertimbangin lagi."

-

Alur - [Haechan]Where stories live. Discover now