Paragraf 12 ; Happiness

2.1K 324 7
                                    

"Runa, apa aku boleh bertanya? Sejak awal sebenarnya aku ingin menanyakan ini padamu." Saga membuka suara, sudah lama ia ingin menanyakan sebuah pertanyaan tentang kekurangannya pada Runa.

"Ingin bertanya apa?"

"Kamu tidak malu ketika berjalan denganku? Kamu juga tidak mengasihaniku, bukan?"

"Tentu tidak. Untuk apa aku malu? Tidak ada gunanya juga jika aku mengasihanimu, Saga. Malah aku yang ingin bertanya kepadamu."

"Ingin bertanya apa?" Ucap Saga sembari menaikkan sebelah alisnya, penasaran dengan pertanyaan apa yang akan ditanyakan oleh Runa padanya.

"Apa kamu memang tidak melihat seseorang dari wajah atau fisiknya? Kamu pasti tahu jika banyak lelaki yang hanya melihat wanita dari fisik, kecuali seorang tunanetra. Bukannya aku ingin merendahkanmu, tetapi banyak orang berkata seperti itu."

Kening Saga berkerut. "Aku masih tidak mengerti dengan ucapanmu. Bisa berikan contoh?"

"Jadi begini, contohnya ada seorang wanita mengatakan kalau semua lelaki itu sama saja. Selalu melihat wanita dari luar, termasuk fisik dan wajahnya. Kecuali lelaki buta yang memang tidak bisa melihat. Kira-kira begitu."

"Aku bukan orang seperti itu. Lagi pula kita semua akan tua nantinya. Untuk apa melihat seseorang dari luarnya, kalau di dalamnya busuk? Apa kamu tetap mau memakan buah jambu yang terlihat segar di luar, tetapi ada banyak ulat di dalamnya? Tentu tidak, bukan? Jadi tidak perlu kamu pikirkan omongan orang lain. Meskipun aku tidak bisa melihatmu, tetapi aku benar-benar tidak peduli apakah kamu cantik atau tidak. Intinya yang terpenting adalah aku nyaman berada di dekatmu."

Runa tersenyum lega sembari mempererat genggaman tangan Saga yang memeluk pergelangan tangannya, lalu ia melanjutkan kegiatan jalan-jalan mereka yang sempat terhenti karena gerimis. Sebenarnya Runa saat ini melihat pelangi yang terjuntai indah di langit, tetapi ia tidak bilang kepada Saga karena ia tidak mau membuat Saga sedih. Namun yang pasti, hujan yang ia rasakan kali ini berbeda. Setidaknya ia ingin belajar untuk menyukai hujan karena Saga.

Jalanan siang ini terlihat sepi, dan hanya ada beberapa pejalan kaki yang terlihat sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Runa bahkan lupa dengan keberadaan Evan dan Wira yang saat ini masih merekam keduanya dari tempat yang tidak Runa ketahui. Tentu, yang ada di pikirannya saat ini adalah Saga, Saga dan Saga. Jadi sisa waktunya di sini akan ia pergunakan dengan sebaik-baiknya untuk Saga.

"Runa, apa kamu lapar? Sepertinya tadi aku tidak sengaja mendengar perutmu berbunyi."

"Bagaimana bisa kamu mendengarnya? Aku saja tidak mendengar suara perutku berbunyi. Hanya suara tongkatmu saja yang ku dengar sejak tadi."

"Kebetulan indera pendengaranku ini lumayan tajam. Sudahlah, tidak perlu merasa malu di depanku, lebih baik sekarang kita makan siang dulu. Kamu melihat Evan dan Wira tidak?"

"Huh? Astaga aku lupa jika mereka tadi juga ikut bersama kita. Mau kembali ke mobil? Mungkin mereka sedang berjalan-jalan sendiri, jadi kita tunggu saja mereka di sana."

Saga hanya mengangguk dan mengikuti Runa untuk berjalan kembali menuju tempat di mana mobil mereka tadi parkir. Evan dan Wira yang mengetahui hal tersebut lantas segera mengikuti mereka dari belakang. Setelah ini kedua kakak beradik itu ingin membawa mereka ke tempat yang lebih menarik. Terlebih mereka sudah memesan penginapan tanpa sepengetahuan Saga, dengan maksud agar Saga dan Runa bisa menghabiskan waktu berdua.

PARAGRAFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang