Hujan begitu romantis dan puitis. Rintiknya begitu merdu dan menyimpan berjutaan kenangan.
★
🔊Aktifkan musik di mulmed
Untuk pertama kalinya, hujan kembali turun setelah sekian lama bumi terasa kering dan panas. Awalnya hanya hujan gerimis tetapi saat pergantian detik, hujannya amat deras.
Posisiku kali ini adalah berada di koridor sekolah, berkumpul bersama murid lainnya yang ingin pulang namun terjebak karena tidak membawa payung.
Sudah 20 menit aku berdiri di sini. Hawa terasa dingin, untuk pertama kalinya aku lupa membawa sweater yang biasanya aku pakai.
"Dingin," gumamku sembari mengusap telapak tangan.
Aku lantas kembali mengecek ponsel dan mendapat pesan dari Bunda.
Bunda : Sayang, kamu tunggu sebentar ya
Bunda : Bunda kejebak macet parah. Kamu baik-baik saja? Sakit kamu gak kambuh sekarang kan?
Me : Aku baik-baik kok bun. Bunda tenang aja, aku tunggu kok. Hati-hati ya bun!
Bohong. Aku sama sekali tidak baik-baik saja. Tubuhku terasa sangat menggigil, kepalaku yang bagian belakang terasa sangat berat.
Aku bingung harus meminta bantuan kepada siapa. Aku sama sekali tidak punya teman di sini, bahkan tidak ada orang yang peduli kepadaku.
Aku hanyalah sosok nyata yang tidak pernah disadari kehadirnya. Hanya manusia yang tidak memiliki peran besar dalam kehidupan ini.
"Tolong," gumamku lagi. Aku sudah tidak kuat, aku benar-benar membutuhkan suatu pertolongan.
Bukannya mendapat bantuan, telinggaku justru mendapat sebuah cibiran pedas dari dua siswi yang berdiri tepat di sampingku.
"Dih, hujan gini aja sakit."
"Dasar lemah. Ewh."
Apa mereka tidak punya hati? Aku pun mencoba bertahan, berharap agar hujan segera reda dan Bunda segera sampai di sekolahku.
Tapi harapanku sama sekali tidak menjadi nyata, hujan masih turun deras dan aku sama sekali tidak mendapat pesan lagi dari Bunda.
Tuhan, hamba mohon. Tolong saya, kali ini saja.
Batinku pun berdoa, berharap nyawaku terselamatkan hari ini. Aku belum siap untuk meninggalkan Bunda.
Hingga aku merasakan suatu kehangatan saat jaket tebal yang tiba-tiba memelukku.
Ditambah dengan sebuah syal berwarna abu-abu yang kini melilit pada leherku.
Aku mendongak kemudian mendapati Benua dengan wajahnya yang sudah bisa ditebak. Khawatir.
"Ayo kita pergi dari sini, kamu terlihat tidak baik-baik saja," kata Benua begitu peka.
Aku tidak menjawab. Lelaki itu membuka payungnya lalu merangkul tubuhku sembari menuntunku pergi.
Sudah pasti, seluruh pasang mata yang ada di tempat ini tertuju ke arah kita berdua.
Aku melihat ke arah Benua sejenak, wajahnya terlihat sungguh cemas. Kenapa dia terlihat begitu cemas?
"Kamu jangan terlalu banyak pikiran dulu, kamu harus kuat. Kamu harus bertahan Natesa," ucapnya lagi.
YOU ARE READING
Terima Kasih, Benua ✓
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Hidup aku rapuh ketika terdiagnosa kanker hati tiga tahun yang lalu. Dua tahun yang lalu pacarku memutuskan hubungan dengan alasan tidak ingin memiliki kekasih yang penyakitan. Natesa. Itu namaku. Awalnya aku sudah tidak m...