14. Berubah pikiran

1.6K 282 12
                                    

Waktu berhentilah sejenak. Biarkan momen ini tidak berakhir secepatnya karena berpisah adalah hal
yang paling menakutkan.

*****

🔊 Aktifkan musik di mulmed

Mataku perlahan terbuka sebelum melihat ke segala penjuru arah. Aku telah berada di dalam kamar dengan tubuh yang ditutupi oleh selimut tebal dan begitu hangat.

Pikiranku mencoba mengingat sesuatu yang terjadi tadi. Senyuman lalu terukir pada bibir.
kejadian di mana Benua menolongku tadi tidak akan pernah terlupakan.

Ralat, seluruh kebaikan dari Benua akan selamanya aku ingat.

"Baru bangun sudah memikirkan saya."

Aku tersentak saat mendapati Benua yang memakai baju kaos berwarna kuning dan celana jeans datang ke kamarku dengan sebuah nampan yang terdapat makanan.

"Benua? Kamu di sini?" tanyaku sembari menatapnya dari atas sampai bawah, "ini bukannya...pakaian ayahku?"

"Iya, bunda kamu yang memberikannya kepada saya. Soalnya seragam saya basah. Untung saja bunda kamu menyimpan ini, sehingga bisa saya pakai sekarang."

"Kamu kenapa enggak pulang?"

"Khawatir sama kamu." jawab Benua.

Tidak ingin salah tingkah, aku lalu kembali bertanya kepadanya. "bunda mana?"

"Di bawah lagi menghubungi dokter."

"Kenapa menghubungi dokter sih, padahal aku baik-baik saja." Jawabku.

"Baik-baik saja? Lihat wajah kamu sekarang pucat, kondisi kamu sedang tidak baik-baik saja. Tidak perlu berbohong seperti ini."

Aku terkekeh, "kamu begitu perhatian."

Benua tersenyum. "Makan dulu. Biar saya suapin kamu," lanjutnya.

"Aku bisa makan sendiri kok."

"Enggak. Pokoknya saya yang suapin kamu, buka mulutnya," perintah Benua sembari berusaha memasukan makanan ke dalam mulutku.

"Aku makan sendi——," belum sempat aku menjawab, Benua sudah memasukan lebih dahulu makanan itu ke dalam mulutku.

"Gimana? Enak?"

"Enak," sahutku. "Kamu yang buat?"

"Enggak. Ibu mertua yang buat."

Aku terkekeh geli, "dih. Ibu mertua apaan, emang bunda mau kamu jadi menantunya?"

"Pastilah. Bunda kamu enggak mungkin bisa menolak jika menantunya setampan saya." Jawab Benua dengan percaya diri.

"Narsis deh!"

"Hahaha! Ayo makan lagi," Benua kembali menyuapiku dengan makanan.

Hening beberapa detik di antara kita berdua.
Sebelum Benua kembali angkat suara.

"Natesa," panggilnya.

"Kenapa?"

"Mereka sudah keterlaluan," ujar Benua membuat aku mengernyit. "Mereka?"

"Iya. Mereka yang sudah menyakiti kamu tadi. Video mereka waktu merundung kamu masih tersimpan di ponsel saya, besok akan segera saya laporkan. Biar mereka mampus."

"Sudahlah Benua, nanti juga mereka akan kena karmanya sendiri." Sahutku.

"Kenapa Sa? Kenapa kamu bersikap seolah semua ini hanya biasa saja? Mereka sudah menyakiti kamu berkali-kali. Tetapi kamu sepertinya tidak keberatan akan semua itu."

"Aku keberatan," jawabku. "Namun semua itu enggak ada artinya bagiku. Karena...sekarang sudah ada kamu. Kamu yang buat aku selalu merasa aman di dunia ini, Benua."

Benua terdiam. Sebelum menarik kedua sudut bibirnya membentuk lengkung sempurna.

"Saya senang bisa berarti di dalam hidupmu."

Aku tersenyum sebelum menyantap suapan terakhir yang diberikan oleh Benua.

"Namun tetap saja, kamu tidak bisa jika diperlakukan seperti ini terus."

"Terus aku harus apa? Melaporkan semua perbuatannya yang justru semakin membuat aku terlihat lemah dan pecundang." Balasku.

"Kalau begitu kamu lakukan yang lebih seru. Yang membuat kamu tidak bisa direndahkan lagi." Kata Benua membuatku bingung.

"Aku tidak mengerti."

"Bisa dibilang sebuah pembalasan."

"Pembalasan?"

Benua mengangguk. "Nanti saya jelaskan. Sekarang saya harus turun untuk meletakan ini semua terlebih dahulu," izinnya.

Lelaki itu kemudian beranjak bangun dan berjalan satu langkah. Tetapi aku lantas memanggilnya, "Benua tunggu."

Langkah Benua terhenti. Dia menoleh, "iya?"

Aku bungkam. Lidahku terasa kelu untuk berbicara, rasanya begitu sulit untuk segera melontarkan kata-kata yang telah aku rangkai di dalam kepala.

Benua tersenyum lebar, sepertinya dia telah membaca apa yang kini aku pikirkan.

"Kamu sudah mendengarkannya ya?"

"Iya." Jawab Benua. "Tapi saya ingin kamu katakan sendiri, saya ingin mendengar suara kamu mengatakan hal tersebut."

"Kenapa harus begitu?"

"Karena rasanya pasti akan lebih istimewa."

Aku diam sejenak sebelum menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Sekali lagi, aku menarik napas dan mengembuskanya. Entahlah, jantungku tiba-tiba berdebar tidak karuan seperti ini.

Benua setia berdiri di hadapanku seolah dirinya tidak sabar mendengarkan.

"Aku berubah pikiran atas jawabanku waktu itu," ujarku.

Benua tersenyum seraya memamerkan sederet gigi putihnya. "Jadi?"

"Iya, aku mau jadi bagian kisah cinta kamu."

*****

Kamis, 23 April 2020. —Ubud.

Terima Kasih, Benua ✓Where stories live. Discover now