31. Menyerah dan mengingkari?

2K 242 18
                                    

Cepat atau lambat, yang hadir bisa saja hilang. Yang ada kemungkinan pergi. Sepertinya sudah banyak yang tahu, tetapi kenapa masih terasa sakit ketika kehilangan?

*****

🔊 Aktifkan musik di mulmed

Penciumkanku yang ditusuk oleh aroma obat dan cairan kimia, membuatku yakin ada di mana aku sekarang tanpa perlu meminta penjelasan. Sebab aku sendiri masih mengingat jelas, alasan kenapa aku tidak sadarkan diri. Saat ini, tubuhku merasa sangat lemah dan tidak bertenaga.

"Natesa, bunda lega akhirnya kamu bangun juga. Bunda sangat mengkhawatirkan kamu. Sudah satu hari kamu tidak sadarkan diri," ujar bunda sembari mendekatiku yang sekarang membelak.

Aku mengernyit. "Bunda bilang... satu hari?"

"Iya. Kamu sudah satu hari tidak sadarkan diri, awalnya bunda ingin menghubungi Benua tentang kondisi kamu. Tapi bunda mengurung niat karena mengingat Benua sedang mengikuti kompetensi."

"Bun... ponsel... ponsel aku di mana?" tanyanya dengan panik. Jantungku berpacu cepat.

"Ini," bunda lalu merogoh tasnya mengambil ponsel milikku yang langsung aku rampas dari tangan bunda dan mengeceknya dengan tergesa.

Menyalakannya terlebih dahulu sebelum mataku mendapati begitu banyak pesan yang dikirimkan oleh Benua kepadaku. Benua mencemaskanku.

Satu hari telah lewat. Itu artinya kompetensi Benua sudah berlalu dan aku tidak menontonya? Astaga!

Memang masih ada kesempatan untuk menonton Benua pada babak berikutnya. Tetapi aku sendiri tidak tahu apakah Benua lolos atau tidak.

Selain itu aku merasa bersalah dan sedih, karena tidak sempat menyaksikan penampilan Benua. Segera aku menghubungi Benua.

Tidak membutuhkan waktu lama, Benua menerima panggilanku sehingga suara Benua lantas terdengar menembus indra pendengaran.

"Sa... kamu baik-baik saja?" intonasi pertanda khawatir terlontar dari bibir Benua.

Aku terkekeh. "Iya. Aku baik-baik saja. Maaf ya aku tidak sempat menghubungi kamu. Hm..." aku menjeda ucapannya memikirkan alasan yang tepat untuk menjawab. Aku tidak ingin membuat Benua khawatir dan membuat kacau segalanya.

"Ponselku rusak kemarin karena jatuh... dan baru saja diperbaiki hehe. Sebenarnya kemarin aku itu ingin menghubungi kamu melalui ponsel bunda, tapi aku tidak ingat nomor kamu. Maafkan aku ya."

Benua maafkan aku karena telah berbohong. Tapi aku janji, nanti setelah kita bertemu kembali aku akan mengakui kebohonganku ini.

Hanya saja tidak sekarang. Karena Benua harus fokus untuk mencapai impiannya.

"Benarkah? Oh ya, bagaimana kemarin apakah kamu sudah menomton? Saya terlihat tampan bukan? Haha! Saya yakin kamu pasti kemarin meleleh karena melihat saya. Oh ya saya begitu senang karena masuk pada babak selanjutnya."

Aku tertawa pelan. "Benar. Kamu keren banget Benua! Aku bangga banget melihat kamu. Aku yakin, kamu tidak akan membawa tangan kosong ketika pulang. Semangat ya hehe."

Mungkin Benua mendengarkan suara tawaku. Tapi dia tidak akan pernah tahu, ucapanku ditemani oleh air mata yang mengalir jatuh dari pelupuk.

"Sa... kamu harus kuat ya. Bertahan. Saya ingin pulang untuk melihat senyuman kamu. Jadi kamu tetap berjuang ya. Semangat untuk kamu juga."

"Iya Benua. Aku mengerti, aku pasti... akan tetap bertahan," rasanya begitu sesak. Mengucapkan kalimat penenang yang justru aku takutkan apabila akan menjadi suatu kebohongan menyakitkan.

Terima Kasih, Benua ✓Onde histórias criam vida. Descubra agora