Tidak salah bukan, jika berpikir bahwa lebih baik tidak memiliki daripada nanti harus saling kehilangan.
*****
🔊 Aktifkan musik di mulmed
Pasar malam. Tempat yang aku dan Benua datangi malam ini, tempat sederhana namun begitu menyenangkan. Sudah lama aku tidak mengunjungi tempat ini.
Padahal dulu, aku sering mengunjungi pasar malam waktu berusia 7 tahun bersama Ayah dan Bunda. Tetapi semua itu hanya tinggal kenangan.
"Maaf, saya enggak bisa ajak kamu ke tempat mewah," ujar Benua yang baru saja turun dari sepeda motornya.
"Enggak perlu minta maaf, aku lebih suka ke tempat yang sederhana tetapi bikin bahagia, makasih sudah bawa aku kemari," jawabku.
Benua menggembangkan senyumannya lebih lebar, "kamu memang istimewa. Ayo masuk."
Aku menganggukan kepala. Benua langsung memegang tanganku dan menuntunku masuk ke dalam pasar malam yang begitu ramai.
"Wow," aku terpukau melihat bianglala besar yang hanya berjarak beberapa meter.
"Mau naik?" tawar Benua. Aku kemudian menganggukan kepala sembari tersenyum.
"Enggak takut ketinggian?" Benua bertanya lagi mencoba memastikan.
"Enggak," sahutku. Mataku lantas tertuju ke arah pedagang yang menjual permen kapas berbagai warna. Ihh mauuu! batinku.
Benua terkekeh, "yaudah kita beli itu dulu." Ujarnya yang membaca pikiranku kembali.
"Okay," balasku seraya mengikuti langkah kaki Benua. Dia terlihat memesan permen kapas itu sambil mengacungkan dua jarinya.
Tidak perlu waktu lama, pria paruh baya—yang baru saja selesai menggulung serabut gula halus dengan stick cone—memberikan kita dua permen kapas besar tersebut.
"Terima kasih ya," kata pria itu setelah Benua membayar. "Sama-sama pak."
Usai itu kita pun kembali berjalan mendekati bianglala. "Enak ya, aku kangen banget sama makanan ini," ujarku yang menikmati arum manis alias permen kapas tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terima Kasih, Benua ✓
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Hidup aku rapuh ketika terdiagnosa kanker hati tiga tahun yang lalu. Dua tahun yang lalu pacarku memutuskan hubungan dengan alasan tidak ingin memiliki kekasih yang penyakitan. Natesa. Itu namaku. Awalnya aku sudah tidak m...