24. Masa lalu Vani

1.3K 192 5
                                    

Menindas akibat pernah tertindas. Tidak akan pernah membuatmu merasa bahagia.

******

Disertai helaan napas berat, aku membalikan halaman novel yang sedang aku baca untuk menghilangkan rasa bosanku di dalam rumah sakit. Pandangan mataku lantas melirik jam dinding. Waktu menunjukan pukul delapan.

Itu artinya Benua masih berada di sekolah. Aku merindukannya. Tetapi mungkin aku tidak dapat langsung bertemu dengannya, sebab aku meminta agar Benua tidak bolos latihan piano di hari kedua.

Impian Benua tidak boleh gagal, hanya karena menemaniku yang merasa bosan di sini.

Kedatangan bunda membuat kegiatanku lalu terhenti, aku meletakkan pembatas buku pada halaman terakhir aku baca, sebelum menutup novel tersebut dan menyapa bunda. "Bunda."

Bunda tersenyum ke arahku. Tetapi senyuman yang bunda tunjukan terlihat berbeda. Seperti, ada sesuatu yang sedang bunda sembunyikan.

"Semua baik-baik saja?" tanyaku.

Bunda tidak menjawabku, justru duduk pada kursi sebelah brankarku dan melamun.

Aku mengernyit. "Bunda? Ada masalah?"

Lamunan bunda buyar. "Eh, tidak. Tidak ada masalah. Semua baik-baik saja. Kamu tenang saja ya, sayang." Lagi-lagi bunda tersenyum.

Bibir bunda dapat saja membohongiku, tapi matanya tidak. "Bunda, jika ada sesuatu yang tidak beres. Tolong bicarakan saja denganku, tidak perlu menutupinya," pintaku pelan.

Bunda justru menggeleng. "Bunda sudah bilang, semua baik-baik saja."

Bahkan sampai seratus kali bunda mengatakan bahwa 'semua baik-baik saja' aku tidak akan pernah percaya. Aku yakin ada sesuatu yang tengah bunda sembunyikan kepadaku.

Apakah ini berhubungan dengan penyakitku?

"Jika ini tentang penyakitku, bunda—"

"Tidak apa-apa sayang. Semuanya akan baik-baik saja. Kamu bertahan sebentar ya. Bunda pasti menemukan orang yang akan menjadi pendonor hati, agar kamu bisa bertahan hidup. Jadi berjanji kepada bunda, bertahanlah untuk saat ini. Berjanjilah," bunda menatapku.

Aku bungkam dengan mata berkaca-kaca.

Bunda mengaitkan jemarinya pada jemariku. Menatapku dengan makna memohon, entah. Tapi aku merasa hati bunda juga rapuh untuk saat ini. "Berjanjilah, nak. Berjanji agar kamu bertahan. Demi bunda. Demi Benua."

Air mataku seketika jatuh. Berusaha untuk tersenyum, meski hati terasa sungguh kacau.

"Iya. Natesa janji bun."

*****

Satu minggu akhirnya berlalu, aku diizinkan pulang dan bersekolah. Awalnya bunda sangat memaksaku agar tetap beristirahat, tetapi aku menolak. Karena aku sudah ketinggal banyak sekali pelajaran, mengingat sebentar lagi akan ada ulangan kenaikan semester.

Langkah kakiku terhenti ketika menginjakkan kaki tepat di dalam kelas. Aku tersentak saat disambut oleh seluruh teman sekelasku.

"Selamat datang kembali ke sekolah Natesa!"

Aku masih tidak percaya dengan sesuatu yang ada di hadapanku. Ini bukan mimpi? Mereka semua menyambutku dengan sangat hangat.

Beberapa perempuan yang ada di sana lantas memelukku dengan erat bahkan aku melihat teman-teman Vani yang melempar senyuman kecil ke arahku. Ada apa ini? Aku sama sekali tidak mengerti, akan perubahan mereka.

Terima Kasih, Benua ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang