08. Debaran

2.3K 330 15
                                    

Waktu adalah pembunuh. Mengambil semua secara perlahan dan aku takut kehilanganmu.

🔊 Aktifkan musik di mulmed

"Iya, saya akan berjanji untuk membuatmu dapat membalas perasaan saya dan nanti kita akan menjalaninya bersama."

Aku hanya diam. Aku tidak tahu harus membalas apa. Intinya, jantungku berdebar.

"Benua aku mau istirahat," kataku kepadanya.

Benua mengangguk. "Baiklah, saya akan temani kamu di sini sampai kamu bangun lagi."

"Tapi kamu kan belum ganti seragam," ujarku lagi seraya melirik Benua yang masih lengkap dengan seragamnya.

Benua terkekeh, "sudah kamu tidak perlu pikirkan itu. Lebih baik kamu tidur saat ini."

Aku pun pasrah dan perlahan menutup kedua mataku dan aku tidak ingat apa-apa lagi usai itu.

Hari ini, lebih tepatnya hari minggu, aku diizinkan pulang sebab kondisiku yang sudah mulai membaik. Meski aku yakin, pasti akan kambuh suatu saat. Setelah diberi berbagai saran oleh dokter, aku siap untuk pulang.

"Ingat, kalau kamu kenapa-kenapa, kamu harus jujur sama bunda. Bukannya justru bilang jika kamu baik-baik saja. Kamu ngerti?" ini sudah sepuluh kalinya bunda menasihatiku.

"Iya bun, Natesa ngerti."

"Jangan pernah berbohong lagi."

"Maaf."

Aku dan Bunda kembali berjalan menelusuri koridor rumah sakit yang sepi sebab ini masih pagi jadi tidak banyak orang yang berkunjung.

Jujur, aku sudah tidak sabar untuk kembali ke rumah. Tempat paling nyaman di dunia.

Mataku menatap jendela mobil, takjub pada pepohonan rimbun yang berjejeran di jalan. Sudah beberapa hari ini, aku tidak melihat lingkungan sekitar.

Biasa saja sebenarnya. Namun aku rindu, saat rambutku diterpa oleh semilir angin pagi yang begitu menyejukkan. Rasanya menenangkan.

Lalu terdengar lagu berjudul 'Pura-pura lupa' yang dinyanyikan oleh Petrus Mahendra spontan membuatku menanggukan kepala mengikuti lantunan musik yang diputar oleh radio mobil.

Bahagiaku memang sederhana itu tetapi mengapa penderitaanku begitu rumit.

Tidak lama kemudian, mobil yang dikendarai oleh Bunda akhirnya sampai di rumah. Baru saja aku turun dari mobil, aku terkejut saat mendapati kehadiran seorang lelaki.

Benua.

Dia terlihat duduk tenang di tangga depan rumahku dan sebuah buket bunga yang di genggam erat oleh tangannya.

Benua tersenyum lantas beranjak bangun kemudian mendekatiku secara perlahan.

"Selamat datang kembali di rumahmu," sapanya dengan ramah.

Aku mengernyit. "Kok kamu tahu rumahku?" tanyaku heran.

"Apa yang saya gak tahu tentang kamu?" sahutnya sembari terkekeh.

Terima Kasih, Benua ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang