Part 7

13.1K 980 34
                                    

Hari saat Devon memeriksakan kondisi nya ke rumah sakit telah berlalu.

Saat ini Devon sedang duduk dimeja kantin bersama kedua sahabatnya. Devon memejamkan matanya saat merasakan sakit di dada kanannya lagi. Devon duduk dikursi seberang Arka dan Rano, Arka yang memakan makanannya, dan Rano yang bermain game di handphone nya.

"Dev, nanti malam ada yang nantangin lo balapan ditempat biasa." ucap Arka setelah menyelesaikan makannya.
"Jam?" tanya Devon membuka matanya yang sempat tertutup lalu menatap Arka yang duduk di depan nya.
"Sepuluh." jawab Arka kemudian mengeluarkan handphone dari saku celana abu-abunya.
"Muka Lo kok pucet gitu Dev, Lo sakit?" tanya Arka menatap wajah Devon yang putih pucat tanpa rona.
"Gak." jawab Devon singkat lalu memejamkan matanya kembali.

Kringgg... Kringgg...

Bel tanda jam istirahat berakhir berbunyi. Arka bangkit dari duduknya berniat masuk ke kelas.

"Udah bel tuh, Gue mau ke kelas, kalian mau bolos lagi apa masuk kelas?" tanya Arka, pasalnya mereka belum masuk kelas atau membolos sejak tadi pagi."Gue ikut Lo ke kelas aja." jawab Rano bangkit dari duduknya dan mengantongi handphone nya.
"Kalo Lo Dev?" tanya Arka pada Devon yang masih duduk dan memejamkan matanya.
"Rooftop." jawab Devon singkat membuka matanya lalu mengambil tasnya kemudian bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Arka dan Rano menuju Rooftop.

***

Devon melempar asal tasnya kemudian mendudukkan tubuhnya dikursi usang yang berada di Rooftop dengan memejamkan kedua matanya menikmati semilir angin sekaligus menahan rasa sakit di dada kanannya yang semakin hari menjadi semakin sakit.

Devon membuka matanya cepat saat teringat dengan hasil tes kesehatan nya yang belum Ia ambil. Tanpa pikir panjang, Devon bangkit dari duduknya dan mengambil tas yang tadi dia lemoar asal lalu berjalan meninggalkan Rooftop menuju rumah sakit tempat nya memeriksakan kondisi kesehatan nya. 

***

Devon sampai di rumah sakit tetapi belum turun dari motor nya. Jujur, Devon takut jika penyakit yang dideritanya bukan penyakit yang sepele. Di satu sisi Devon takut jika penyakit nya memang bukan penyakit sepele maka cepat atau lambat Dia pasti akan meninggal lebih cepat, dan Devon belum siap untuk itu. Tapi, Devon juga senang jika penyakit yang dideritanya memang bukan penyakit sepele maka Devon akan cepat meninggal dan Ia tidak perlu lagi menerima pukulan dari papa nya yang sangat menyakiti fisiknya dan Devon juga tidak perlu mendengar ucapan-ucapan kasar keluarganya yang sangat menyakiti batinnya.

Setelah sekian lama berdiam diri dimotornya, Devon memasuki rumah sakit menuju ruangan Dokter Bram.

Tok... Tok... Tok...

Devon mengetuk pintu ruangan Dokter Bram.
"Masuk." jawab Dokter Bram dari dalam mempersilahkan masuk. Devon membuka pintu ruangan Dokter Bram lalu duduk dikursi depan Dokter Bram.
"Gimana?" tanya Devon to the point.
"Saya harap setelah Kamu dengar ini Kamu harus tetap tegar Dev." ucap Dokter Bram lesu.
"Hmm." balas Devon.
"Kamu... Kamu menderita penyakit kanker paru-paru stadium 3 Dev." ucap Dokter Bram lirih seraya meletakkan hasil tes kesehatan Devon dimeja yang ada didepannya.

Devon mengambil kertas hasil kesehatan nya dengan lemas. Rasanya, semua tulang-tulang Devon terasa hancur lebur setelah mendengar penyakit mematikan itu bersarang di tubuh nya. Dada Devon sesak, melainkan bukan sesak karena penyakit nya, namun sesak menerima kenyataan pahit ini. Apakah jika orang tuanya tau tentang penyakitnya mereka akan menyayangi, menganggap dan merawatnya yang sakit selayaknya anak pada umumnya atau mereka malah semakin membenci Devon karena penyakit nya dan tidak ingin direpotkan.

"Saya harap Kamu tetap kuat dan semangat melawan penyakit ini Dev." ucap Dokter Bram memberi semangat.
"Berapa lama lagi Saya bisa hidup?" tanya Devon lirih.
"Kamu jangan putus asa Dev, Saya usahakan agar Kamu bisa sembuh kalo Kamu rajin menjalani kemoterapi dan minum obat." ucap Dokter Bram.
"Tapi Saya tidak yakin." ucap Devon dengan nada dingin nya.

Devon [END] Where stories live. Discover now