Part 28

14K 957 54
                                    

Matahari sudah menampakkan sinarnya menyinari pagi hari ini. Di dalam ruangan serba putih dengan bau obat-obatan yang menyengat, nampaknya belum ada tanda-tanda dari seorang pemuda yang berbaring lemah dengan alat-alat medis di tubuhnya itu akan membuka matanya. Dia adalah Devon, sang pemilik mata hitam legam dengan sorot mata tajam yang kini sepertinya masih enggan untuk membuka matanya itu. Mungkin mimpinya terlalu indah sehingga dia tak mau bangun untuk saat ini.

Sejak kemarin, tepatnya sejak Devon di bawa ke rumah sakit, Devon masih belum sadarkan diri sampai sekarang. Keadaannya memang sudah tak se kritis kemarin, tapi Devon masih belum sadar juga sampai sekarang.

Di dalam ruang rawat Devon hanya ada Farah disana. Ardi berangkat kerja, Arka berangkat ke sekolah. Sebenarnya Arka masih mau menemani Devon di rumah sakit hari ini, namun Farah melarangnya. Dengan alasan, semalam Arka sudah menjaga Devon bersama Rano, karena semalam Farah dan Ardi pulang untuk beristirahat.

Farah setia duduk di kursi samping ranjang Devon sejak tadi. Tangan kirinya sedari tadi tak berhenti mengusap lembut kepala Devon dan tangan kanannya yang menggenggam erat tangan kanan Devon yang tak di infus.

Di tatap nya wajah Devon dengan lekat. Wajah yang tadinya segar berubah menjadi putih pucat dan tak ada rona sama sekali. Mata yang biasanya menatap datar dengan sorot tajam itu kini tertutup rapat. Di tatap pula tubuh Devon yang sekarang nampak begitu kurus.

Fikiran Farah melayang pada perkataan Ardi tadi malam sebelum dia dan Ardi pulang. Ardi mengatakan pada Farah, Arka dan Rano tentang Brata yang ingin Devon mendonorkan jantungnya untuk Devan.

Demi apapun, mereka tak rela itu terjadi. Meskipun Devon tak ada ikatan saudara dengan mereka, namun Devon sudah mereka anggap sebagai keluarga.

Lamunan Farah buyar saat tangan di genggaman tangan kanannya bergerak pelan. Farah menatap tangan Devon di genggamannya lalu beralih menatap wajah Devon yang matanya bergerak akan terbuka. Dengan perlahan, mata yang biasanya menatap tajam nan datar itu kini terbuka. Yang terlihat bukan tatapan tajam dan datarnya, melainkan tatapan sayu dan redup.

"Dev, syukurlah kamu udah sadar, apa ada yang sakit? Kamu butuh sesuatu? Atau kamu haus dan mau minum?" Tanya Farah beruntun membuat Devon mengulas senyum tipis di bibir pucatnya.

"Minum." Jawab Devon tanpa suara karena tenggorokan nya terasa begitu kering sehingga sulit sekali untuk mengeluarkan suara.

Farah yang melihat gerak bibir Devon dengan sigap langsung mengambilkan Devon minum dan membantu Devon minum menggunakan sedotan. Setelah selesai minum, Farah kembali membantu Devon memasangkan masker oksigen yang tadi sempat di lepas saat Devon minum.

"Dev, mama panggil dokter dulu ya buat cek keadaan kamu." Pamit Farah berlalu keluar ruang rawat Devon untuk memanggil dokter Bram tanpa menunggu Devon menjawab ucapannya tadi. Devon menatap langit-langit kamar rawat nya sembari menunggu Farah kembali.

Setelah empat menit menunggu, pintu kamar rawat nya terbuka menampakkan Farah disana dengan dokter Bram dan seorang suster yang mengikuti di belakang.

Dokter Bram mendekat ke ranjang Devon dan mulai mengecek keadaan Devon, mulai dari denyut nadi dan lainnya.

"Sus, ganti masker oksigennya dengan nasal cannula, ganti juga infusnya." Titah dokter Bram yang langsung di lakukan oleh suster itu, karena memang cairan infus Devon sudah sedikit dan hampir habis.

"Gimana keadaan Devon dok." Tanya Farah.
"Devon sudah melewati masa kritisnya, tapi Devon tetap harus di rawat di sini dulu supaya kondisi Devon tidak drop. Dan tolong bujuk Devon untuk kemo." Jelas dokter Bram.

Devon [END] Where stories live. Discover now