Part 24

12.1K 885 24
                                    

7.00 AM

Matahari terbit menampakkan sinarnya membuat seseorang terganggu dalam tidurnya.

Davin menggeliat dalam tidurnya terusik dari matahari yang telah terbit. Perlahan-lahan, Davin membuka matanya, saat Davin akan bangkit dari dari posisi berbaringnya, badannya terasa sangat pegal semua. Mungkin ini efek karena dia tidur di sofa.

Davin merubah posisinya menjadi terduduk lalu matanya menatap adiknya yaitu Devon yang masih terbaring di ranjang rumah sakit dengan jarum infus yang tertancap di punggung tangan kirinya, masker oksigen yang menutup hidung dan mulutnya, serta bunyi dari mesin EKG dengan garis yang terlihat tak beraturan menandakan masih adanya kehidupan di dalam raga Devon walaupun masih belum sadar.

Hari ini Davin tidak ada jadwal kuliah, jadi Davin bisa dengan leluasa menjaga Devon tanpa memikirkan kuliahnya. Davin bangkit dari duduknya lalu mendekat ke samping ranjang Devon agar bisa menatap Devon dalam jarak yang lebih dekat.

Davin menatap wajah Devon yang terlihat sangat pucat. Lalu, di tatapnya wajah Devon dengan seksama dan lebih lekat. Davin akui tubuh Devon lebih kekar jika di bandingkan dengan Devan, sifat Devon pun sangat berbanding terbalik dengan Devan. Jika Devan akan mudah sekali untuk bergaul, maka Devon adalah kebalikannya.

Lama menatap Devon yang masih belum sadar, tiba-tiba pintu terbuka menampakkan Dokter yang menangani Devon. Dokter itupun masuk ke dalam ruang rawat Devon dan memeriksa keadaan Devon dengan sangat teliti.

"Bagaimana keadaannya Dok?" tanya Davin setelah Dokter dengan name tag Firman itu selesai memeriksa keadaan Devon.
"Keadaan Devon masih sama seperti semalam, tolong cepat untuk mencari orang yang golongan darahnya sama dengan Devon agar dia bisa cepat melewati masa ktitisnya." jelas Dokter Firman.

"Akan saya usahakan Dok." ucap Davin, lalu Dokter itu pun pergi keluar dari ruangan Devon.

Tak berselang lama setelah Dokter itu pergi dari ruang rawat Devon, pintu kamar rawat Devon terbuka kembali menampakkan Arka dan Rano disana dengan pakaian santainya.

"Kalian nggak sekolah?" tanya Davin bingung, pasalnya ini bukanlah hari libur tapi ini adalah hari Jum'at, dan seharusnya saat ini Arka dan Rano berangkat sekolah.

"Kita nggak masuk Bang, mau jagain Devon di sini." jawab Arka.
"Kalian berangkat sekolah aja, Gue bakal jagain Devon jadi kalian tenang aja." ucap Davin tersenyum. Davin senang karena Devon masih mempunyai teman yang selalu setia menemaninya dalam situasi apapun.

"Kita tetep di sini aja Bang, lagian kalo kita berangkat sekolah juga percuma, soalnya udah telat." ucap Rano lalu berjalan menuju sofa yang ada di pojok ruangan lalu duduk di sana sambil memainkan handphone nya di ikuti oleh Arka yang juga memilih duduk di samping Rano. Sedangkan Davin, dia pergi ke kamar mandi untuk mencuci mukanya.

Tok...Tok...Tok...

Pintu kamar rawat Devon terdengar di ketuk dari luar membuat Rano, Arka dan juga Davin yang baru keluar dari kamar mandi menatap ke arah pintu.

"Masuk." ucap Davin mempersilahkan. Kemudian pintu terbuka menampakkan seorang pemuda dengan pakaian casualnya. Pemuda itu adalah Vero, Vero berjalan mendekati ranjang brankar Devon untuk melihat keadaannya.
"Gimana keadaannya?" tanya Vero menatap Arka, Rano dan Davin secara bergantian.
"Masih kritis, Devon butuh donor darah secepatnya." jawab Davin.
"Kalo boleh tahu, golongan darah Devon apa?" tanya Vero.
"Golongan darahnya AB." jawab Arka.
"AB? Golongan darah Gue juga AB." ucap Vero membuat Davin, Arka dan Rano terkejut.

"Kenapa Lo nggak bilang dari awal Ver?" tanya Rano sedikit kesal.
"Gue kan nggak tahu." jawab Vero mengedikkan bahunya.
"Udah, yang penting udah ada golongan darah yang sama kayak Devon, mending cepet panggil Dokter." ucap Davin memberi saran.
"Biar Gue yang panggil." ucap Arka langsung melangkahkan kakinya keluar dari ruang rawat Devon untuk memanggil Dokter.

Tak berselang lama, Arka datang dengan Dokter yang menangani Devon.
"Siapa yang golongan darahnya sama dengan pasien?" tanya Dokter.
"Saya Dok." jawab Vero.
"Mari ikut saya, saya periksa dulu apakah kondisi anda memungkinkan untuk melakukan donor darah." ucap Dokter itu. Lalu, Dokter itu dan Vero pun keluar dari ruang rawat Devon.

***

Di sisi lain, Devan kini sedang makan dengan di suapi oleh mamanya. Sedangkan Brata sudah pergi ke kantor.

"Mah, semalem aku denger pembicaraan Papa, Mama sama Bang Davin, katanya Devon kecelakaan Mah?" tanya Devan.
"Kamu ngapain sih bahas anak itu." ucap Veni kesal.
"Devon kan adik kembar aku Mah, jadi aku mau tahu gimana keadaan dia." kata Devan mencoba memberi pengertian kepada Veni.
"Mama nggak tahu keadaan dia, lagian nggak penting juga." ucap Veni ketus.
"Mah, aku mau donorin darah aku buat Devon." ucapan Devan sontak membuat Veni langsung menatapnya tajam.
"Mama nggak akan biarin kamu lakuin itu, kamu itu masih sakit Van, lagian nggak ada gunanya juga kamu peduli sama dia." ucap Veni marah.
"Sekarang kamu habisin makanan kamu terus istirahat." ucap Veni lalu kembali menyuapi Devan.

***

Suasana di ruang rawat Devon kini sudah lebih santai di bandingkan dengan suasana sebelumnya yang penuh dengan kekhawatiran.

Saat ini Devon sudah sadar sekitar lima belas menit lalu dan sudah melewati masa kritisnya setelah mendapatkan donor darah dari Vero.

"Ar, apa yang terjadi sama Gue setelah kecelakaan?" tanya Devon pada Arka yang duduk di sampingnya.
"Setelah kecelakaan itu keadaan Lo sempet kritis karena kehilangan banyak darah Dev." jawab Arka.
"Terus yang donorin darah buat Gue siapa?" tanya Devon.
"Yang donorin darah Vero, semalem Bang Davin udah nyoba bicara sama orang tua Lo biar Devan donorin darahnya buat Lo, tapi orang tua Lo nggak bolehin, untungnya aja golongan darah Vero sama kayak Lo, jadi Vero deh yang donorin darah buat Lo." jelas Rano panjang lebar di balas anggukan Devon.

"Ver, makasih." ucap Devon pada Vero yang duduk di sofa.
"Santai aja Dev, kita kan temen, udah seharusnya saling bantu." jawab Vero.

Sedangkan Davin yang menyaksikan pembicaraan Devon dan teman-temannya mengakui kalau teman-teman Devon sangat menjunjung tinggi nilai pertemanan. Susah maupun senang mereka tetap bersama, tidak seperti kebanyakan orang yang meninggalkan temannya yang sedang terpuruk dan mendekati teman yang sedang berjaya. Namun, sepertinya itu tidak berlaku bagi Devon dan teman-temannya.

"Dev, Ar, Ran, Ver, Gue pamit keluar dulu sebentar." pamit Davin yang di angguki oleh mereka.

Davin melangkahkan kakinya menuju ruang rawat Devan untuk sekedar menengoknya. Davin membuka kamar rawat Devan dan memasukinya, disana terlihat Devan yang sedang memainkan handphonenya di atas ranjang rumah sakit, dan disana hanya ada Devan sendiri.

Devan yang merasa ada seseorang masuk ke dalam kamar rawatnya langsung menatap Davin.
"Kak." sapa Devan.
"Gimana keadaan kamu?" tanya Davin berbasa-basi.
"Udah mendingan kak." jawab Devan.
"Mama sama Papa kemana?" tanya Davin.
"Papa berangkat ke kantor, kalo Mama tadi bilang mau ke kantin rumah sakit." jelas Devan.

Davin mengangguk lalu menarik kursi untuk di dudukinya di samping ranjang Devan.

"Kak, gimana sama keadaan Devon?" tanya Devan serius.
"Devon udah lewatin masa kritisnya, dan sekarang dia udah sadar." jawab Davin.
"Terus siapa yang donorin darah buat Devon?" tanya Devan penasaran.
"Temennya." jawab Davin singkat.

Sebenarnya Davin kecewa karena Devan tidak mendonorkan darahnya untuk Devon. Tapi Davin bukan kecewa dengan Devan, melainkan kecewa dengan orang tuanya. Orang tuanya seperti menganggap kalau Devon bukanlah anak kandung mereka, melainkan orang asing yang butuh di kasihani oleh mereka. Mengingat itu, membuat Davin kecewa pada orang tuanya itu.

⏳⏳⏳

Devon [END] Where stories live. Discover now