Prolog

23.1K 1.5K 208
                                    

"Ghibah itu dosa. Itu kata agama.
Gosip itu fakta yang tertunda. Itu kata media.
Dan setiap gerak-gerik anak orang, itu berita utama. Itu kata tetangga."

- Nurul -

Hidup itu mudah, itu kata guru agamaku waktu SD. Semua kisah manusia dari hidup sampai mati sudah ditentukan. Karena itu, kita hanya bisa menjalaninya. Namun, beliau juga berkata, bahwa Allah menjanjikan perubahan bagi orang-orang yang mau berusaha untuk mengubah nasibnya. Mungkin itu yang disebut the power of maksa. Eh, bukan. Itu kekuatan doa.

Namaku Nurul. Seorang wanita berusia 26 tahun yang sampai saat ini belum bekerja, pengangguran. Aku bukan sarjana, hanya lulusan SMA. Bukan tidak melanjutkan kuliah, tetapi saat sudah semester 8, skripsi, ayahku meninggal dunia. Mamak tidak bisa membiayai, aku sedikit depresi dan akhirnya keluar dari kampus dengan keinginan sendiri.

Menyesal? Tidak. Bagiku, semua sudah digariskan dan tidak ada sesuatu apapun di dunia ini yang bergerak atau terjadi di luar kehendak Allah. Jadi, aku merasa ini hal terbaik untukku dibanding menjadi sarjana dan maksa jadi wanita pekerja.

Gagal kuliah, tidak membuatku putus asa. Meski di KTP, pekerjaanku garis strip, aku bisa menghasilkan uang dengan menjadi guru honorer di PAUD milik tetanggaku. Gajinya Rp30.000 perbulan. Lumayan untuk beli pulsa atau minyak goreng 1 liter. Selain itu, aku menjadi guru privat untuk tiga orang murid SMA dengan bayaran Rp150.000/bulan. Jika di total, dalam sebulan, penghasilanku lumayan. Bisa bantu Mamak bayar listrik, beli gas elpiji, dan lain-lain.

Kisah hidupku lumayan kelam dan kisah cinta tidak kalah suram. Aku pernah tunangan selama 7 tahun dengan seorang lelaki yang dianggap cinta sejati. Bertahun-tahun setia dan mengabdi, ujung-ujungnya dia menikah dengan orang lain. Wanita selingkuhan tunanganku telanjur berbadan dua sehingga menagih janji untuk dinikahi.

Saat itu, aku hancur. Hanya bisa menangis dan mengurung di kamar selama berhari-hari. Namun, pernikahan itu tetap terjadi. Terkadang cinta memang tidak adil begini. Jika dipikir-pikir, tujuh tahun bukan waktu yang singkat dan dihapus begitu saja dari memory. Namun, life must be go on. Aku bangkit dan bertemu dengan belahan hati yang lain.

Aku punya pacar yang usianya lebih muda 7 tahun. Bukan bocah, anak kuliahan, masih muda. Tampang setara Masaki Masuda, tetapi kelakuan mirip Saitama. Kocak tapi tidak botak. LDR, karena dia kuliahnya di luar kota. Sengaja tidak memberitahu orang lain, bukan takut ditertawakan, melainkan enggan menjelaskan.

"Kamu gila, Nur? Dia cuma setahun lebih tua dari adikmu, lho." Rahmah, teman kuliah satu-satunya yang masih berkomunikasi dan ke rumah karena drama Korea, memberikan komentar tidak terduga ketika tahu aku menjalin hubungan dengan Ace, bukan merk Rokok atau perusahaan perabot rumah tangga dari Amerika, melainkan nama pacarku.

Aku enggan menanggapi tapi dia tidak sampai mencaci maki. Baginya, pacaran itu hak pribadi, hanya bisa menasehati. Kalau aku happy, omongan atau pendapat orang lain, tidak usah peduli. Hanya bikin sakit hati dan keki sendiri. Maunya begitu, tetapi beberapa hal, tidak bisa dihindari.

Aku ingin berbagi, tentang cerita hidupku sehari-hari. Tidak ada yang begitu spesial sampai membuat iri. Hanya, mungkin, beberapa poin akan memberikan pembelajaran atau motivasi.

Ini kisahku dengan sesuatu yang lebih berbahaya dari virus Corona. Menyebar tidak lewat udara, tetapi suara dan menjangkau seluruh dunia hanya sekejap mata. Aku menyebutnya, BACOT TETANGGA.

***
TBC.

A/N
Hi, Inag2711 di sini.
Ini cerita baru.
Updatenya bisa cepat atau lambat, tergantung ide di otakku.

Jangan lupa masukin reading's list dan library.

Cuma cerita fiksi, bukan based on the story.

Jangan lupa bagi-bagi, klik share sehingga teman-teman atau mungkin tetanggamu bisa membaca cerita ini :)

Salam Pelawan Bacot,

Ina Zakaria.

BACOT TETANGGA [ TERBIT ]Where stories live. Discover now