9

6.3K 828 76
                                    

"Bukan sombong, aku kalau membeli sesuatu tidak pernah melihat harga. Yang penting murah saja."

- Nurul -

Hari ini aku ada reuni kelas saat di bangku SMA. Entah hujan badai atau angin topan mana yang menghantam kepala teman-temanku sehingga aku diundang untuk datang. Padahal, bertahun-tahun lulus, nomer telpon mereka saja tidak punya.

Salah satu temanku, Adi, anaknya Pak Sugeng, yang masih tetangga denganku, rumah kami masih satu blok, mungkin adalah tersangka dalam kebocoran informasi.  Dia berteman dengan salah satu teman sekelasku, Adang. Dan lelaki berambut ikal dan kurus itu yang memberikan aku undangan.

Disebutkan di bagian bawah undangan, bahwa acara reuni tidak hanya sebatas bertemu untuk melepas kangen. Akan ada beberapa acara lain juga, di antaranya makan-makan dan saling bertukar kado. Oleh karena itu, kami ditarik biaya sebesar lima puluh ribu rupiah untuk acara yang sesungguhnya tidak ingin aku datangi itu.

Aku tidak membenci teman-temanku. Ada banyak kenangan indah yang sudah kami buat selama tiga tahun di SMA. Di kelas yang sama, saling mengenal dan membantu untuk bisa belajar serta mencapai kelulusan dengan nilai memuaskan. Kami yang polos, selalu tersenyum manis dan melakukan semuanya dengan optimis.

Itu masa lalu. Kenyataannya, setelah kelulusan usai, lingkungan dan persaingan masyarakat yang mengerikan telah menungguku. Aku yang hanya lulusan SMA, merasa tertinggal dan tidak bisa melakukan apa-apa. Tidak ada keterampilan atau sesuatu yang menjadi tujuan. Juga, tidak punya kekayaan untuk membuka toko atau usaha kecil-kecilan. Pada akhirnya, aku hanya bisa bersembunyi dan perlahan menerima statusku sebagai pengangguran.

"Ada apa?"

Tila adikku yang bertugas mengantarku hari ini menatap curiga padaku yang terpergok beberapa kali menghela napas berat.

"Nggak jadi datang reuni?"

"Datanglah. Sudah bayar ini."

"Yaudah, naik. Lama."

"Oke."

Aku terpaksa menurut. Tidak mau Tila tahu kalau aku malu. Malu pada diriku sendiri yang tidak menjadi apa-apa selain pengangguran dan wanita lajang menyedihkan.

Hujan, hanya itu yang aku harapkan terjadi. Dengan begitu, akan ada alasan jika aku tidak datang. Namun, Tuhan tidak merestui. Hari ini cerah sekali.

Aku mengembangkan senyuman ketika sampai dan teman-temanku sudah berkumpul di depan kafe yang menjadi tempat acara. Mereka sama sekali tidak pangling dengan penampilanku yang memang tidak berubah. Berbeda dengan mereka, yang sebagian, bahkan aku lupakan namanya.

"Hai, Nur. Sudah menikah?"

"Kerja di mana sekarang?"

"Anaknya udah berapa, nih?"

"Suaminya kerja apa?"

"Eh, kamu kurusan, deh. Jangan hidup kayak orang susah. dong. Makan yang banyak."

Ada banyak kata-kata menyakitkan lainnya yang membuatku ingin belajar jurus Shunshin no Jutsu ( berpindah tempat ). Sayang, jurus itu cuma fiksi, bukan asli. Lagipula, di sini bukan Konoha yang dipimpin Hokage, melainkan sebuah kota yang dipimpin Bupati. Bagi mereka mungkin itu perkataan biasa, tetapi tidak demikian untukku. Itu privasi yang tidak ingin ditanyai.

BACOT TETANGGA [ TERBIT ]Where stories live. Discover now