20

5.2K 699 70
                                    

"Kematian datang tanpa notifikasi.
Hargai orang yang kamu cintai, sebelum benar-benar pergi. Saat itu terjadi, air mata dan penyesalan tak lagi berarti."

- Nurul -

Langit gelap, gerimis turun membasahi bumi tanpa basi-basi lalu berubah menjadi hujan deras dalam sekejap mata. Aku berdiri dengan tangan memeluk diriku sendiri, kedinginan.

Aku memandang jalanan yang ramai, kendaraan masih berlalu lalang, terutama roda empat, sementara aku yang lupa membawa jas hujan, terpaksa menepi di sebuah warung untuk berteduh.

Aku baru saja pulang mengajar, jaraknya cukup jauh, sekitar 1-2 km dari rumah. Bayarannya lumayan, makanya diterima. Lumayan untuk tambahan. Selain itu, setiap aku datang, diberi camilan dan minuman. Nama murid baruku Seni, kelas XI, keturunan Bali, baru seminggu yang lalu memulai les privat mata pelajaran bahasa Inggris. Anak perempuan yang ramah dan cukup cerdas.

Jadwal mengajarku terbilang cukup padat. Senin, Kamis dan Jum'at mengajar PAUD di pagi hari. Untuk sorenya, aku mengajar les privat di rumah untuk dua murid yang lain. Sedangkan Selasa dan Rabu sore, aku mengajar Seni. Malamnya, aku mengajar Lista, kelas X di rumahnya.

Selain mengajar, aku juga seorang editor untuk salah satu penerbit Indie. Bayarannya lumayan, apalagi kalau permintaan sedang banyak. Oleh sebab itu, aku bisa mencicil hutangku ke mamak dalam waktu setengah tahun. Juga, bisa memberikan Tila uang saku dan lainnya.

Aku bukan orang dermawan, hanya ingin memberikan bantuan setiap kali diperlukan. Walau daftar keinginan harus dikesampingkan demi menyenangkan orang lain, Tuhan tak pernah lelah memberikan bantuan. Buktinya, aku selalu merasa menjadi orang berkecukupan walau dinilai miskin oleh orang lain. Namun, aku tidak peduli karena makan dengan hasil sendiri, bukan hasil mengemis atau mencuri.

"Kalau punya uang, ditabung, Nur. Jangan hura-hura," begitu nasehat Mamak setiap kali aku bercerita kalau baru saja dapat uang.

"Iya, Mak." Aku hanya menjawab dua kata itu. Walau keinginan itu tidak pernah terlaksana.

"Nur, punya uang? Mau beli rokok, uangnya kurang."

"Nur, paketan dan pulsa habis."

"Mbak, uang buku, terakhir besok."

"Dek, popok dan susu Angkasa habis."

"Nur, punya uang? Mamak nggak pegang uang sama sekali."

Itu adalah salah satu alasan, mengapa aku tidak bisa menabung atau membeli apa yang diinginkan untuk menyenangkan diri sendiri. Walau begitu, aku tidak mengeluh. Bagiku, menyenangkan keluarga lebih utama saat ini. Sebelum aku berkeluarga dan mengutamakan kebutuhan anak, pribadi, atau suamiku nanti.

Keluarga adalah suatu ikatan yang tak akan pernah bisa dibuang, meskipun ingin. Dan, keluargaku jauh lebih berharga dari uang yang aku miliki. Uang bisa dicari, sedangkan keluarga tidak. Kita terikat semenjak lahir, untuk saling tolong-menolong, bukan saling mengabaikan.

Aku belajar arti sebuah keluarga, dari pengalaman Bang Yusuf. Dulu, saat dia masih menjadi pegawai Bank Swasta, dan bertunangan dengan Fira, dia memilih untuk tinggal sendiri, meninggalkan rumah kami yang kecil ini. Dia juga tak pernah sekalipun mengunjungi mamak. Jangankan mengirim uang, sekadar menelpon pun tak pernah.

BACOT TETANGGA [ TERBIT ]Where stories live. Discover now