1.

12.9K 1.2K 214
                                    

"Katanya, jangan memandang orang dari materi.
Namun, orang miskin selalu dianggap tidak ada harga diri.
Sedang yang kaya, digosipi dan diirii."

- Nurul -

Hari ini tetanggaku menikah. Kalau tidak salah, dia lima tahun lebih muda dariku. Pernikahannya digelar mewah dan meriah. Terbukti dari undangan pernikahannya yang lebih besar dari kuping Gajah. Acaranya dilaksanakan di gedung pukul satu siang. Makanan tamu diambil sendiri, mulai dari pojok kanan sampai kiri. Segalanya ada, dari Es teler, nasi goreng, spagetty, bakso sampai ayam tepung kentaki. Pokoknya mewah, udah mirip warteg kualitas tinggi.

Semua tamu undangan yang datang pada iri. Pakaian yang digunakan yang paling mahal dan bagus sekali. Pernikahan anak tetanggaku sedikit mirip pagelaran seni. Segala macam pakaian kelas 'tinggi' ada di sana, menyilaukan mata dan bikin hati keki.

Aku tidak diundang, hanya menggantikan mamak yang kebetulan tidak bisa datang. Kerja, tidak bisa cuti atau pamit cepat pulang. Terpaksa, aku datang untuk sekadar makan. Sudah keluar uang lima puluh ribu, ditaruh dalam amplop putih dan dikasih mamak. Bukan hasil sendiri. Ingat, aku cuma pengangguran yang kebetulan udah tua dan masih tinggal serta bergantung pada orang tua.

Para tamu undangan pada datang, melewati karpet merah ala selebriti, menemui para mempelai yang berdiri di atas panggung sambil unjuk gigi, foto satu-dua kali, selesai. Turun dari panggung lalu menghampiri makanan yang sudah menunggu untuk dinikmati.

Aku tidak datang sendiri, bareng tante dan sepupu yang sudah gede-gede dan siap nikah tahun ini atau mungkin beberapa tahun lagi. Sudah laku, punya tunangan atau pacar semua. Beda sama aku, di mata mereka aku masih sendiri.  Padahal, sudah mempunyai kekasih hati yang mungkin lebih pantas dijadikan adik sendiri. Mungkin, mereka akan beranggapan begitu jika mengetahui fakta ini.

"Nggak enak," cetus tanteku, Iri, bukan nama sifat, tetapi namanya memang begitu. Mungkin itu sebabnya, dia sering iri pada sesuatu yang belum atau tidak dia miliki.

"Lumayan, kok." Cici, anaknya menyanggah.

Tanteku berdecak.

"Enakan punya aku," katanya lantas memasukkan bakso yang sudah tinggal sebiji ke mulutnya.

Aku mendesah pelan. Enggan ikut mengomentari. Pasalnya, meski dibilang tidak enak, tanteku sudah menghabiskan dua mangkok bakso. Memang, suara hati dan mulut sering kali berbeda arti.

Hilir-mudik, kami ke sana-kemari. Sekadar mencicipi makanan yang tidak dibatasi. Bisa makan apa saja secara gratis. Ini sungguh pernikahan yang mewah. Budgetnya pasti jutaan atau mungkin miliaran.

"Ci, datang sama siapa?"

Wanita dengan pakaian serba glowing dengan wajah bersinar ala iklan cuci piring datang menghampiri. Merangkul sepupuku dan cipika-cipiki.

"Alan, tunangan saya, Te," sahut Cici lantas melirik tunangan yang berdiri di sampingnya.

"Wah, udah lama? Kok nggak ngundang-ngundang, sih?"

"Iya, kecil-kecilan aja waktu itu. Keluarga dekat aja, Te."

"Kalau nikah, undang Tante, lho."

"Iya, itu pasti, Jeng." Tanteku, Iri, Ibu Cici, ikut bergabung.

"Awas lho, ditunggu."

Wanita yang disebut 'Te" itu melirikku.

"Ini anak saudaramu itu kan?"

Tante Iri mengangguk.

"Iya, anaknya Fat," jawab tanteku.

"Masih belum nikah juga?" Ia melirikku dengan pandangan yang membuat tidak nyaman. Bahkan, suudzon.

"Udah tunangan? Punya pacar?"

Aku hanya tersenyum lebar, memamerkan gigiku yang tidak rata.

"Buruan nikah, kalau tua, ntar nggak ada yang mau, lho. Umur berapa, sih?"

"Dua enam tahun."

"Anak tetanggaku, si Dina, umur segitu sudah nikah dan punya anak dua, lho."

Aku hanya memberikan cengiran.

Teman dari teman saya, umur segitu juga udah menghadap Allah, Te. Ingin mengatakan itu, tetapi malas diajak debat.

"Permisi, Te. Saya ke sana dulu."

Aku segera pergi ke tempat nasi goreng, malas berbasa-basi lebih lama, kabur.

Puas makan, aku memutuskan untuk pulang. Namun, menunggu semua Tante dan sepupuku kelar "update berita terbaru" dulu. Setelahnya, kami berkumpul, bukan untuk stand up komedi atau mengumpulkan amal untuk korban bencana alam, sedang memeriksa kupon.

Di dalam undangan, ada kupon kecil yang harus dibawa untuk ditukarkan dengan aksesoris pernikahan. Kalau hilang, tidak bisa dapat. Karena undangannya mewah, besar harapan kalau aksesoris yang didapat juga demikian.

"Ayo!"

Tante Iri menjadi ketua satu. Di depan, menukar lebih dulu. Aku berada di barisan belakang. Kami mendapat satu tas kecil warna cokelat yang tengahnya distaples sehingga tidak bisa mengintip isi di dalamnya.

Kepo, Tante Iri membuka lebih dulu aksesorisnya tepat di depan gedung, dekat orang yang melayani penukaran kupon. Senyum tanteku menghilang. Aku sudah feeling tidak enak, mengingat tas kecil itu terlalu ringan.

Tanteku mencibir, bahkan memaki dengan suara sejati, bukan hati. Beberapa orang sempat menoleh lalu membuka buru-buru tas aksesoris itu dan melakukan hal yang sama. Bahkan, beberapa ada yang membuangnya.

Allah memang benar. Kekecewaan akan selaras dengan besar-kecilnya harapan. Aksesoris yang didapat hari ini, bukan gantungan kunci, lilin aroma terapi atau handuk mandi, melainkan centong nasi. Harganya mungkin hanya sekitar 5-7 ribu, dari plastik bukan besi.

Aku mengucap Tahmid. Tetap bersyukur, setidaknya masih bisa dapat centong nasi, bukan tusuk gigi atau tidak sama sekali.

Centong nasi semenjak itu menjadi gosip terpanas satu kelurahan. Bahkan, pihak panitia tidak berani menggelar konferensi pers untuk melakukan pembelaan.

"Kalau mau nikah, jangan sama yang kaya tapi pelit, Nur." Tanteku Iri menasehati saat aku tak sengaja bertemu di depan rumah karena bertetangga.

Aku hanya tersenyum tanpa mengomentari.

"Jangan yang miskin juga. Nanti melarat."

Lagi, aku hanya bisa tersenyum lalu masuk ke dalam rumah.

"Katanya mau lari pagi, kok malah masuk lagi?" Mamak yang melihatku masuk ke kamar bertanya heran.

"Malas, banyak cctv."

"Hah?"

Aku tidak peduli. Melepas sepatu lalu tidur lagi.

***
TBC.

BACOT TETANGGA [ TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang